Indahnya dunia sastra
Banyak orang menyampaikan, “buat apa menggeluti dunia sastra”. Anggapan-anggapan mirip itu banyak telontar di kelompok penduduk yang sering menyepelekan sastra. Kurikulum di sekolah-sekolah pun juga banyak yang menganak tirikan pelajaran sastra. Sepertinya sastra telah menjadi suatu momok yang di takuti. Padahal intinya sastra melingkungi dunia kita. Lihat saja dikala kita bosan, saat kita tidak ada pekerjan dan ada waktu terluang, kita sering mengisinya dengan membaca karya sastra seperti novel, cerpen atau bahkan puisi. Sebenarnya telah sejak kecil sastra melingkungi kita. Kita ingat dikala ibu kita yang melelapkan kita dengan cerita-cerita yang disebut dongeng. Itu semua adalah sastra. Sastra ialah suatu hal yang patut dinikmati di segala usia sesuai karakteristik sastra tersebut.
Inilah sebuah pengalaman seseorang. Sebut saja namanya dengan “Koko”. Dulu Koko tak suka yang namanya pelajaran sastra dan tak mengenal karya sastra dengan erat. Namun ia sering menikmati indahnya sastra dari buku-buu cerita fiktif dan cerpen-cerpen yang sering muncul di majalah atau Koran. Namun itu semua cuma untuk mengisi waktu luang saja dan itu pun jikalau materi-materi bacaan itu ada di dekatnya. Di sekolah ia kurang menyukai pelajaran bahasa Indonesia yang berbau sastra. Di SMP dia tak kenal begitu dekat dengan namanya puisi. Ia hanya tahu bahwa puisi itu cuma sebuah pelajaran yang harus beliau jejalkan di otaknya dengan menggali apa amanat dan rimanya. Gurunya pun jarang mengajarkan puisi atau karya sastra yang lain. Entah apa alasannya adalah, atau memang bekerjsama gurunya itu juga tak suka sastra.
Tahun-tahun pertama beliau di SMA beliau lebih tak mengenal sastra. Ia pun lebih tak menyukai pelajaran yang berbau sastra. Kepalanya sakit kepala kalau harus bergelut dengan yang namanya jenis puisi, setting, alur, amanat, suspens, siti nurbaya dan istilah lain yang berhubungan dengan sastra. Ia pun takut setengah mati jika harus membaca puisi di depan kelas. Tugas menciptakan puisi ia serahkan terhadap kakaknya. Ia tak gundah jika hasil karya kakaknya ia beri namanya sendiri dan di kumpulkan. Dengan kata lain dia ialah plagiat. Di kelas dua SMA dia masih belum jauh mengenal dunia sastra. Pernah suatu kali pada jam pelajaran bahasa Indonesia kelasnya di beri peran untuk membuat puisi yang bertemakan daerah biasa . Dengan segala keringat yang mengucur dan menghabiskan dua jam pelajaran cuma terlahir puisi yang berjudul “halte” dan cuma beberapa larik saja.
Kemudian di permulaan kelas tiga SMA ia mulai melirik dunia sastra. Hal itu bermula ketika dia suka membaca puisi-puisi sobat dekatnya. Ia mulai menggemari sastra. Ia beranggapan, “jika temanku bisa, mengapa aku tidak”. Ia pun berpikir buat apa hidup di dunia tanpa ada karya. Ia pun belajar mengasihi sastra dengan membuat puisi. Walaupun awalnya beliau menjadi plagiat dengan mencipta puisi dengan mengambil dari beberapa lirik lagu yang berlawanan. Namun itu hanya sebatas buat mencar ilmu. Ketika dia mulai bisa menciptakan puisi sendiri dan mendapatkan idealisnya, dia sering menciptakan puisi walau tidak di suruh guru. Dan ketika sobat-temannya membaca puisinya, mereka sering meberi jawaban yang positif.
Dulu dia jarang sekali bercerita keluh kesah ihwal dirinya terhadap siapapun. Kini dia memiliki daerah untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Ada ketenangan dan kesenangan sendiri baginya jikalau menghasilkan karya sastra.
Waktu terus berjalan, kini beliau juga harus di hadapkan sebuah realita bahwa beliau juga harus mengambil kuliah dengan program studi yang tidak jauh dari seluk beluk kehidupan sastra. Ia mulai menggeluti dunia sastra lebih erat. Ia mulai belajar membuat karya gres berbentukcerpen. Yang membuat semangatnya lebih yaitu cerpen karya pertamanya termuat dalam seri penerbitan sastra di kota kawasan dia kuliah. Semakin usang beliau lebih akrab dengan sastra. Dan semua itu merupakan suatu kesenangan tersendiri. Ia besar hati dengan hasil karya-karyanya. Itu semua memotivasi dirinya untuk mengikuti kontes-lomba penulisan puisi dan cerpen. Tak jarang pula mengirimkankan karyanya ke media masa. Walaupun sering mengalami kegagalan karena tak di muat, dia menganggap kegagalan adalah motivasi untuk berkarya dengan hasil yang terbaik. Sekarang dia menyadari betapa indahnya bergelut dengan sastra. Ia mulai mengenal tokoh sastra mirip HB. Jassin, Seno gumirah ajidarma, Hamsad Rangkuti dan lainnya, bahkan sastrawan muda mirip Ratih Kumala dan Dwicipta. Ia mempunyai impian untuk maju mirip sastrawan-sastrawan yang dikenalnya. Ia pun tak lelahnya menciptakan karya-karya gres karena beliau berpedoman bahwa hidup harus berkarya.
Banyak orang menyampaikan, “buat apa menggeluti dunia sastra”. Anggapan-anggapan mirip itu banyak telontar di kelompok penduduk yang sering menyepelekan sastra. Kurikulum di sekolah-sekolah pun juga banyak yang menganak tirikan pelajaran sastra. Sepertinya sastra telah menjadi suatu momok yang di takuti. Padahal intinya sastra melingkungi dunia kita. Lihat saja dikala kita bosan, saat kita tidak ada pekerjan dan ada waktu terluang, kita sering mengisinya dengan membaca karya sastra seperti novel, cerpen atau bahkan puisi. Sebenarnya telah sejak kecil sastra melingkungi kita. Kita ingat dikala ibu kita yang melelapkan kita dengan cerita-cerita yang disebut dongeng. Itu semua adalah sastra. Sastra ialah suatu hal yang patut dinikmati di segala usia sesuai karakteristik sastra tersebut.
Inilah sebuah pengalaman seseorang. Sebut saja namanya dengan “Koko”. Dulu Koko tak suka yang namanya pelajaran sastra dan tak mengenal karya sastra dengan erat. Namun ia sering menikmati indahnya sastra dari buku-buu cerita fiktif dan cerpen-cerpen yang sering muncul di majalah atau Koran. Namun itu semua cuma untuk mengisi waktu luang saja dan itu pun jikalau materi-materi bacaan itu ada di dekatnya. Di sekolah ia kurang menyukai pelajaran bahasa Indonesia yang berbau sastra. Di SMP dia tak kenal begitu dekat dengan namanya puisi. Ia hanya tahu bahwa puisi itu cuma sebuah pelajaran yang harus beliau jejalkan di otaknya dengan menggali apa amanat dan rimanya. Gurunya pun jarang mengajarkan puisi atau karya sastra yang lain. Entah apa alasannya adalah, atau memang bekerjsama gurunya itu juga tak suka sastra.
Tahun-tahun pertama beliau di SMA beliau lebih tak mengenal sastra. Ia pun lebih tak menyukai pelajaran yang berbau sastra. Kepalanya sakit kepala kalau harus bergelut dengan yang namanya jenis puisi, setting, alur, amanat, suspens, siti nurbaya dan istilah lain yang berhubungan dengan sastra. Ia pun takut setengah mati jika harus membaca puisi di depan kelas. Tugas menciptakan puisi ia serahkan terhadap kakaknya. Ia tak gundah jika hasil karya kakaknya ia beri namanya sendiri dan di kumpulkan. Dengan kata lain dia ialah plagiat. Di kelas dua SMA dia masih belum jauh mengenal dunia sastra. Pernah suatu kali pada jam pelajaran bahasa Indonesia kelasnya di beri peran untuk membuat puisi yang bertemakan daerah biasa . Dengan segala keringat yang mengucur dan menghabiskan dua jam pelajaran cuma terlahir puisi yang berjudul “halte” dan cuma beberapa larik saja.
Kemudian di permulaan kelas tiga SMA ia mulai melirik dunia sastra. Hal itu bermula ketika dia suka membaca puisi-puisi sobat dekatnya. Ia mulai menggemari sastra. Ia beranggapan, “jika temanku bisa, mengapa aku tidak”. Ia pun berpikir buat apa hidup di dunia tanpa ada karya. Ia pun belajar mengasihi sastra dengan membuat puisi. Walaupun awalnya beliau menjadi plagiat dengan mencipta puisi dengan mengambil dari beberapa lirik lagu yang berlawanan. Namun itu hanya sebatas buat mencar ilmu. Ketika dia mulai bisa menciptakan puisi sendiri dan mendapatkan idealisnya, dia sering menciptakan puisi walau tidak di suruh guru. Dan ketika sobat-temannya membaca puisinya, mereka sering meberi jawaban yang positif.
Dulu dia jarang sekali bercerita keluh kesah ihwal dirinya terhadap siapapun. Kini dia memiliki daerah untuk mencurahkan apa yang dirasakannya. Ada ketenangan dan kesenangan sendiri baginya jikalau menghasilkan karya sastra.
Waktu terus berjalan, kini beliau juga harus di hadapkan sebuah realita bahwa beliau juga harus mengambil kuliah dengan program studi yang tidak jauh dari seluk beluk kehidupan sastra. Ia mulai menggeluti dunia sastra lebih erat. Ia mulai belajar membuat karya gres berbentukcerpen. Yang membuat semangatnya lebih yaitu cerpen karya pertamanya termuat dalam seri penerbitan sastra di kota kawasan dia kuliah. Semakin usang beliau lebih akrab dengan sastra. Dan semua itu merupakan suatu kesenangan tersendiri. Ia besar hati dengan hasil karya-karyanya. Itu semua memotivasi dirinya untuk mengikuti kontes-lomba penulisan puisi dan cerpen. Tak jarang pula mengirimkankan karyanya ke media masa. Walaupun sering mengalami kegagalan karena tak di muat, dia menganggap kegagalan adalah motivasi untuk berkarya dengan hasil yang terbaik. Sekarang dia menyadari betapa indahnya bergelut dengan sastra. Ia mulai mengenal tokoh sastra mirip HB. Jassin, Seno gumirah ajidarma, Hamsad Rangkuti dan lainnya, bahkan sastrawan muda mirip Ratih Kumala dan Dwicipta. Ia mempunyai impian untuk maju mirip sastrawan-sastrawan yang dikenalnya. Ia pun tak lelahnya menciptakan karya-karya gres karena beliau berpedoman bahwa hidup harus berkarya.