Saturday, 9 October 2021

Jejak Bayangan

Terlarut panjang kakinya melangkah diantara liku Jejak Bayangan
Terlarut panjang kakinya melangkah diantara liku-liku jalan. Jarak yang begitu jauh meletihkan rajutan otot tubuhnya. Tak terasa peluh mulai mengaliri antara bagian-bagian tubuhnya. Seolah dia hanya terbang dengan sayap yang sesungguhnya hanya sepasang kaki. Mengayuh ringan tubuhnya sampai terhempas ke tempat yang jauh. Tempat gila bagi mata dan arahnya. Sepasang kakinya kini mulai terayun pelan. Segala daya mulai menghimpit letih yang hilang sadar. Sebentuk ruh mungkin gres terlepas dari tubuhnya dengan menyisihkan sesak di dada. Terdengar napas yang mengejar-ngejar tak beraturan. Tubuhnya terasa remuk sampai sendi-sendi mirip lepas dari tulang belulangnya.
Ia sadar.
Tubuhnya kini bersandar pada kuatnya batang mahoni yang gagah menancapkan akarnya ke dalam bumi. Sementara daunnya bagaikan atap dunia, melindungi siapa pun yang berada di bawahnya. Sejenak napasnya terbantu oleh semilir angin yang menerpa parasnya. Berusaha menguapkan butiran keringat yang menempel di dahinya.
Ia mulai menyesali perihal apa yang baru saja terjadi. Memeluk bayangan , terasa menempel diantara ruang pikirnya. Matanya menerawang jauh ke sekumpulan awan putih di tengah megah azzura langit.
Ruang batinnya membendung luapan tangis dan tak mampu keluar dari sudut matanya. Hanya penat tertahan di hati dan menjadikannya makin terlunta-lunta. Seandainya luapan itu keluar dari sudut matanya , mungkin akan sedikit membuatnya lega.
Matanya tertuju pada sebelah tangannya. Bintik-bintik hitam agak kemerah-merahan terlihat menghiasinya. Bahkan ada yang melebar hingga sela-sela jari dan telapak tangannya. Timbul dalam benak pikirannya bahwa itu adalah lukisan alami yang memiliki seni tinggi.Bukan! Bukan lukisan alami, tetapi lukisan yang muncul tanpa di sengaja. Entah apa namanya. Mungkin pikiran itu terasa sungguh konyol. Sebentuk lukisan yang menghiasi tangannya timbul sesudah beliau melakukan sebuah hal di luar kesadarannya.
Ya.Ia gres saja melaksanakan hal terburuk semasa hidupnya. Sekerlip bayangan timbul di depan ruang mata dan batinnya. Sesosok bayangan laki-laki dan perempuan berada di suatu ruang yang temaram. Ruang yang mungkin di sengaja di buat remang-remang biar cahaya tidak masuk dari luar. Senja seolah menolong ruang itu, sehingga mulai tampak sebuah keremangan yang tampakmakin menuju gelap.
Mereka menari layaknya tarian setan yang melahirkan permainan napas dan peluh mengucur dengan deras. Pintu ruang itu terbuka. Cahaya masuk dari celah pintu yang di buka dari luar. Sesosok perjaka muncul dengan pakaian agak lusuh. Mungkin ia gres saja melaksanakan pekerjaan berat dan menciptakan penampilannya terkesan lusuh. Raut mukanya saat itu juga berganti merah menyala seakan mau membakar habis semua yang ada di hadapannya. Wajah kusamnya menjilat-jilat api kemarahan Geram hati, perasaan dan pikirannya meluap begitu saja.
“Mona” Sentaknya.
Seketika lelaki dan perempuan yang di hadapannya terperangah melihatnya. Tarian setan pun berhenti. Kedua pasang mata mereka terlihat memperlihatkan ekspresi kaget sekaligus takut. Terlihat mereka segera menutupi tubuhnya yang tak tertutupi secuil busana.
Perempuan itu segera menawan selimut yang berada di sampingnya. Sebuah celana kolor di atas ranjang di sambar tangan laki-laki itu dengan segera.
“Paman..!” Sentaknya lagi.
“Firman? Aku……saya……” ucap lelaki itu terbata-bata.
“Bangsat kalian”
“Istri sundal”
“Lelaki biadap” Ucap pemuda itu dengan nada yang super tinggi.
Tiba-datang tatapan pemuda itu kosong.
Gelap. Seluruh pembendaharaan matanya hanya menyaksikan ruang gulita. Hanya tertangkap di kedua matanya sepasang serigala, yang satu tampak serigala jantan dan yang satu lagi serigala betina. Mata sepasang serigala itu keluar sebuah sinar penuh dosa. Tubuh perjaka itu bergetar seolah ada ruh yang merasukinya. Dengan langkah terrtatih namun menggebu perjaka itu mendekat sepasang serigala di hadapannya dengan amarah memuncak.
“Plak..!”
Tangannya terayun keras. Sebuah tamparan yang lebih enak di dengar dengan sebutan gamparan kuat, mendarat tepat di wajah serigala jantan. Keberingasan secepatnya muncul setelah menerima perlakuan yang menciptakan muka serigala itu sakit. Keduanya masuk ke dalam sebuah permainan emosi. Dua makhluk Tuhan terlibat pertengkaran sengit.
Dalam kondisi itu, mirip tidak ada nurani, etika, atau hukum yang berlaku. Hanya insting terbalut amarah yang berfungsi. Satu-satunya hokum yang berlaku adalah hokum rimba. Siapa yang kuat dia yang dapat., wlau mesti menyalahi kodrat alam. Keduanya mengandalkan insting untuk saling mengalahkan.
Serigala betina menjerit sejadi-kesannya. Melonglong meronta-ronta hingga suaranya kian merapuh. Ia ingin menghentikan pertengkaran. Namun, siapa yang hendak di belanya. Bingumg,khawatir, takut menyergap di semua penjuru tubuhnya.Ia pun mengerahkan segala dan upaya untuk melerainya. Akhirnya pertengkaran terhenti.
Sunyi.
Di ruang itu hanya terdengar napas yang terus berpacu. Dua pasang mata masih bertatapan sarat amarah. Sepasang mata perjaka itu makin mengobarkannya. Mata pemuda itu beralih dan menangkap dengan sinis sosok serigala betina. Tanpa sengaja matamya juga menangkap sebilah pisau di atas meja. Tubuhnya seolah kian bergetar seakan ada energi yang masuk dengan segera dan mendorongnya mengambil pisau tersebut. Dengan langkah seribu beliau mengambil pisau tersebut. Dengan arah menyudut dia menghunuskan pisau ke arah serigala jantan tepat kearah perutnya. Satu teriakan panjang, satu lenguh kesakitan,satu tusukan dan mungkin satu nyawa melayang.
Pemuda itu melamun. Kemudian ia tercengang karena melihat serigala yang di tusuknya menjelma sesosok laki-laki yang ada di hadapannya tadi. Melihat kenyataan itu ia dengan langkah seribu pula meninggalkan mereka di ruang tersebut tanpa menyaksikan bagaimana kondisinya.
Bayangan itu lenyap.
…..***….
Hanya terdengar bisikan angin menerpa dedaunan. Ranting-ranting kecil menari seirama kepakan sayap dedaunan. Napasnya mulai hening sehabis mengikuti keadaan dengan situasi sekitar. Ia meluruskan kaki dan lebih mendekatkan tubuhnya ke batang pohon untuk memperbaiki posisi sandarannya.
Firman. Ia masih berpikir dan merenungi bayangan-bayangan yang tadi melintas. Bayangan itu bahwasanya positif dialaminya sendiri. Dalam bayangannya perempuan itu ialah istrinya. Ia bernama Mona. Mona yaitu istri yang sungguh dan sungguh dicintainya. Baginya Mona yaitu bidadari yang di turunkan Tuhan untuknya. Mona memang elok dan menawan. Tutur kata dan perilakunya ramah serta lemah lembut. Ia memperistri Mona tidak dengan begitu mudahnya. Pengorbanannya sungguh besar untuk menyebabkan Mona sebagai istri. Bagaimana tidak? Ia harus menentang kedua orang tuanya . Kedua orang tuanya tidak menyetujui relasi mereka. Bukan sebab aspek kekayaan atau derajat yang dipermasalahkan, namun dendam abad kemudian antara orang tua dari dua belah pihak. Dendam yang mungkin terlalu besar sehingga tidak bisa reda untuk waktu yang usang.
Menghadapi hal itu, Firman dan Mona tidak menyerah begitu saja. Masih ada yang mendukung mereka yakni eyang kakung Firman. Eyangnya menyepakati mereka dan menikahkan keduanya sebab takut terjadi sebuah hal yang tidak dikehendaki menimpa keduanya. Setelah menikah mereka kabur meninggalkan keluarganya masing-masing untuk meneruskan keterkaitannya.Mereka pergi dengan membawa bekal seperlunya. Mereka pergi ke daerah yang jauh dari tempat mereka sebelumnya.
Satu tahun akad nikah. Mereka harus menjalani hidup secara sederhana di sebuah kontrakan. Mona mengandalkan keterampilan menjahitnyayang diperoleh dari kursus selama setahun sesudah lulus Sekolah Menengan Atas. Sedangkan Firman dengan predikat lulusan SMA cuma kerja serabutan. Gajinya tak menentu. Penghasilan Mona dari menjahit juga tak seberapa. Kebutuhan mereka tercukupi dengan penghasilan itu walau mesti pas-pasan dan acap kali menunggak pembayaran perjanjian yang tidak mengecewakan mahal.
Suatu hari dengan tidak sengaja Firman bertemu dengan Pamannya. Rumah pamannya berada di kota yang tidak jauh dari kota yang di tempati Firman. Dulu pamannya sering menunjukkan mainan bila berkunjung ke tempat tinggal Firman ketika dia masih kecil. Dari konferensi itu, Firman bicara bamyak wacana problem hidupnya. Mulai dari orang renta yang menentang pernikahannya sampai berat hidupnya kini. Pamannya yang memiliki dua anak itu masih terlihat muda. Sayang dia harus kehilangan istrinya untuk selamanya. Istrinya meninggal dua setengah tahun yang lalu ketika melahirkan anak keduanya. Pamannya baru tahu dilema Firman itu sebab sejak istrinya meninggal ia belum pernah mendatangi saudara-kerabatnya termasuk keluarga Firman.
Sejak ketika itu Firman di beri pekerjaan oleh pamannya. Ia bekerja selaku pekerja teknis di suatu pabrik pengolahan besi. Pamannya cuma bisa menempatkan di sana sebab lowongan yang lain sudah terisi. Firman sungguh berterima kasih kepada pamannya. Tidak hanya itu, pamannya memerintahkan Firman dan istrinya untuk tinggal di suatu rumah sederhana yang berada tidak jauh dari rumah pamannya. Masih dalam satu komplek. Rumah itu bergotong-royong salah satu rumah yang dikontrakkan pamannya, namun telah setahun ini tidak ada yang mengontraknya. Mulanya Firman menolaknya alasannya selain tidak enak,beliau juga merasa pamannya sudah terlalu baik dengan apa yang beliau kerjakan kepadanya.Akhirnya Firman luluh dan menerima untuk tinggal di sana sesudah di bujuk pamannya.
“Anggap saja ini rumah dinasmu atau hadiah dariku seperti dulu aku sering memberimu mainan”. Bujuk pamannya.
…***…
Mona dan Firman sudah tinggal di sana selama satu tahun. Mereka hidup lebih bercukupan, walau mesti letih melakukan pekerjaan dengan setumpuk pekerjaan yang tidak mengecewakan berat, tetapi gajinya cukup besar. Mereka merasakan keganjalan pada diri mereka. Mereka merasa kesepian sebab belum menimang anak.
Di sebuah siang, Firman pulang kerja lebih permulaan dari lazimnya . Sanpai di rumah beliau menerima paman dan Mona ngobrol di ruang tamu. Hal ini sering terjadi dan membuat Firman curiga, namun anggapan itu segera ditepisnya. Ia berpikir bahwa itu sebuah kewajaran seorang paman yang menjemput bertamu ke rumah ponakkannya.
“Sudah pulang, Man”
“Sudah Om”. Firman menyebut pamannya dengan sebutan Om.
“Ada apa paman kok tumben main kemari”. Firman basa-kedaluwarsa.
“Ini….hanya ngobrol sama istrimu, Eh Man! Tadi istrimu mengeluh alasannya kalian belum mempunyai anak”.
“Ya mungkin belum waktunya Om”
“Pasti dalam waktu dekat kalian punya anak”
“Mudah-mudahan Om, saya bersyukur sekali jikalau itu terjadi”.
Mona muntah-muntah di belakang rumah. Firman menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Ia lalu menenteng Mona ke Puskesmas terdekat. Ia harus membolos kerja hari ini.Setelah melaksanakan pemeriksaan muka mereka malah berseri-seri. Dokter gres saja memberitahu bahwa Mona hamil satu bulan. Tiga hari sehabis kabar menyenangkan itu Firman pulang lebih singkat padahal hari ini acara biasanya beliau lembur. Ia pulang dan masuk ke rumah. Ia eksklusif menuju ke kamarnya.
Bayangan itu kembali. Ia tergagap berdiri dari lamunannya. Angin masih mengalun pelan menerpa pohon yang menaunginya. Suara lenguhan keluar dari mulutnya menerangkan letih yang tak tertahan. Ia merasa bosan dengan suasana sekitar. Ia mencoba bangkit untuk pergi dari kawasan itu. Baru saja beliau menekuk lututnya untuk bangun, ada dua pasang kaki bersepatu di hadapannya. Matanya mulai berlangsung dari arah kaki bersepatu itu. Pelan namun positif dan pasti. Sampailah matanya memandang muka sosok di depannya.
“Polisi!”. Bisiknya lirih dengan sambutan senyum sinis.
Andi D Handoko, Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi Cerpen joglo#3 terbitan Taman Budaya Jawa Tengah.
gambar dari:http://jengki.com