Saturday, 9 October 2021

Surat Di Tengah Bulan

Musim ini tak seperti musim setahun yang lalu Surat Di Tengah Bulan
Musim ini tak mirip isu terkini setahun yang lalu. Angin berdesis pelan menghempas tanah yang menjadi debu karena terkikis sengatan surya. Semilir pagi terasa acuh taacuh di sekujur tubuh. Membawa insan-manusia untuk senantiasa betah dalam lelap sejak malam hari. Malas untuk melihat mentari cerah. Padahal mentari itu yang mau menghangatkan sekujur badannya yang kedinginan. Musim belum pertanda akan tiba hujan. Hari-hari masih melenggang panas di teriknya cuaca di musim ini. Pohon mahoni dan jati di depan rumah sudah mulai meranggas hingga cuma menyisihkan pupus–pupus kecil yang mengambarkan bahwa pohon itu masih hidup. Masih jelas terasa hawa dikala isu terkini tahun lalu tak mirip isu terkini yang sekarang. Ini ialah awal Oktober di tahun ini. Udara tetap terasa dingin memeluk kulit hingga kulit tampakmengerut mirip bersisik.
Yogjakarta, awal Oktober setahun yang kemudian. Aku masih ingat terperinci hari itu. Di hari itu usiaku genap lima belas tahun. Itu yaitu hari ulang tahun yang paling berkesan sejak aku dilahirkan di dunia ini. Saat itu, saya, ayah, dan ibuku menghabiskan waktu seharian di sebuah taman yang tak jauh dari rumah kami. Kebersamaan dan keintiman yang sangat kasatmata terperinci kurasakan dalam diriku. Aku sangat bahagia di abad itu. Ibuku yang ramah dan lemah lembut telah menyebabkan aku sebagai manusia yang harus berakal menghargai sesama, mengajarkan aku tentang kedamaian, kebersamaan dan sebagainya. Ia pun dengan sabar membimbingku untuk menjadi insan yang berkhasiat bagi siapapun dan di manapun. Ibuku memberi sebuah kamus besar bahasa inggris sebagai kado ulang tahunku yang kelima belas. Katanya, aku mesti banyak belajar bahasa inggris alasannya kemampuanku berbahasa inggris masih jauh di bawah sobat-teman sebayaku. Tak ketinggalan ayah, seorang anggota TNI yang sangat kusayang dan kuhormati. Langkah tegap, dada bidang serta tinggi badan dipadu dengan sedikit kumis tebal menciptakan ia begitu berwibawa. Tentunya tidak cuma itu semua. Sifat dan sikapnya memang mencerminkan sesosok ayah yang sungguh berwibawa. Beliau juga memberiku kado yang sangat berharga dan bernilai bagi hidupku. Sebuah arloji anti air yang sungguh cantik.
Beliau berpesan biar aku tidak menyia-nyiakan waktu. Waktu selalu menyertai kita. Dengan waktu kita diharuskan mengisi hidup ini dengan selaksa makna. Waktu tak dapat diputar kembali. Manusia berpijak pada urutan waktu. Waktu juga yang menuntun insan sesuai jejak langkahnya masing-masing.
Kebahagiaan yang terjadi pada tahun kemudian itu luruh saat senja masa itu mulai mengaburkan mata. Ketika mendengar pernyataan ayah bahwa ia tak mampu lagi sering bareng denganku dan ibuku.
Beliau akan diperintahkan ke Ambon karena banyak terjadi konflik di sana. Hal ini adalah tantangan terberat bagi kami. Apalagi saya gres saja mulai hari-hari awalku di sekolah menengah atas. Di waktu itu masih ada waktu tiga hari untuk ayah menyiapkan diri untuk pindah peran. Sungguh kenyataan yang harus kami terima dengan waktu yang sungguh singkat.
Di hari keberangkatan ayah ke Ambon, kami mengirim ia dengan iringan tetes air mata. Tetes air mata yang bukan menggambarkan kesedihan, namun menggambarkan suatu keinginan. Suatu saat niscaya ayah akan kembali dan menemani hari-hari di kehidupan kami dengan suatu keinginan yang cerah, impian yang indah dan kasatmata. Semoga. Sejak saat itu kami hanya berdua di rumah. Walau begitu kami tak merasa sendirian, ada ayah di ujung pulau jauh sana. Setia komitmen padaku dan ibuku. Kami sayang dan hormat pada dia. Ayah pun juga begitu, beliau begitu perhatian kepada kami. Menurut dongeng ibu, sebelum mereka menikah, ayah sangat tergila-asing pada ibu. Dahulu mereka masih Sekolah Menengan Atas. Di waktu itu, ayah sudah berkali-kali menyatakan cinta kepada ibu namun selalu ditolak. Dengan perjuangan yang begitu keras karenanya ayah dapat meluluhkan hati ibu. Ayah selalu menuliskan puisi cinta dan memberikannya kepada ibu setiap pulang sekolah. Ibu yang memang seorang bintang sekolahpun harus luluh dengan perlakuan ayah. Hingga berikutnya waktu yang mempertemukan mereka dalam ikatan cinta pada suatu pelaminan. Dan lahirlah saya di dunia ini.
Sejak ayah di Ambon, ia selalu memberi kabar melalui surat setiap bulan. Tepatnya di tengah bulan, entah itu tanggal 14, 15 atau 16. Kalaupun telat tidak akan sampai lebih dari tanggal 20 setiap bulan. Setiap tengah bulan kami selalu menantikan surat dari ayah. Terlebih Ibu yang memang benar-benar sayang dan cinta dengan ayah. Ayah sangat perhatian terhadap kami. Setiap surat yang ia kirimkan senantiasa terselip kertas biru yang khusus untuk ibu. Kertas biru yang berisi puisi cinta, aku pun sering mendapat puisi dari ayah namun tidak senantiasa setiap bulan dan kertas yang digunakannya menggunakan warna hijau, warna kesukaanku. Surat-surat itu niscaya terkirim setiap bulannya. Aku juga tidak tahu bagaimana ayah menyisakan waktunya untuk semua itu. Namun itu semua tidak berjalan usang. Tak genap setahun. Semua berakar dari insiden di tamat Juni tahun ini. Di Ambon sedang diadakan perayaan untuk memeringati hari besar nasional yang dihadiri banyak pejabat negara. Namun di dalamnya ada sekelompok pengacau yang berani mengibarkan bendera aneh. Hal ini jelas tergolong tindakan makar kepada negera. Otak dan pelaku peristiwa itu secepatnya dicari dan ditelusur keberadaannya oleh petugas yang berwenang, termasuk ayah yang ketika itu memang bertugas di sana. Dari kabar yang kuterima, ayah di tugaskan untuk mengejar-ngejar pelaku yang disinyalir melarikan diri ke Pulau Aboru. Pulau yang sangat dipercayai sebagai tempat persembunyian para pelaku makar di Ambon. Ayah bersama kompi pasukannya menggunakan speedboat untuk pergi ke pulau itu. Tidak cuma itu, mereka juga menenteng seorang tawanan untuk mengenali eksistensi para pelaku. Waktu itu malam hari. Angin melenggang cepat menghempas landai pantai. Speedboat melesat dengan kecepatan yang tinggi. Cuaca tak mendukung perjalanan itu. Rupanya akan datang angin ribut. Namun perjalanan tetap berjalan karena itu memang sering terjadi. Memang pada ketika itu sedang maraknya badai laut dan tingginya ombak. Para nelayan pun mesti berpikir dua kali untuk pergi melaut alasannya adalah cuaca yang tak menentu. Speedboat yang ditumpangi ayah dan kompinya membelah pekat malam diiringi gemuruh angin kencang.
Dan peritiwa itu terjadi, speedboat terbalik tertelan ganas ombak dan pekatnya malam. Mungkin di sana tidak tampakapa-apa dan hanya terdengar gemuruh topan. Entah semua itu terjadi sebab disebabkan alam atau ada pihak yang sengaja menciptakan kecelakaan itu terjadi. Semua orang tak tahu itu. Hanya saja sesudah insiden itu ayah menghilang mirip tertelan bumi. Pelaku yang juga selaku tawanan yang ada di speedboat itu pun raib entah kemana. Semua orang sudah memvonis ayah tewas dalam kecelakaan itu karena tak bisa bertahan di tengah laut yang berombak ganas. Aku tak percaya dengan semua itu. Aku percaya bila ayah yaitu pecinta bahari. Dari kecil beliau suka dan bakir berenang. Namun saya tak bisa pungkiri jika ayah memang betul-betul pergi dari dunia ini alasannya adalah tiga hari setelah itu setengah tubuh ayah yang masih dengan pakaiannya yang sudah sobek-sobek ditemukan di pesisir pantai. Tak cuma air mata, batin dan jiwaku menangis dengan keras. Ibu tak bisa berbuat apa-apa, cuma linangan tetes air mata yang kian usang semakin sering keluar. Aku yakin semua ini bukan karena kesalahan alam namun ada pihak yang sudah menyutradarai insiden itu, sehingga speedboat tenggelam dan ayah tewas pada peristiwa itu.
Surat itu tak pernah tiba lagi. Sejak Juli lalu surat itu tak pernah tiba, bahkan mungkin takkan pernah datang. Namun ibu belum yakin bahwa ayah telah pergi dari dunia ini. Ia selalu menanti surat itu setiap tengah bulan. Ia akan menunggu sampai larut malam di depan pintu berharap ada tukang pos yang mengantarnya. Bulan Juli tak ada surat yang tiba ke rumahku. Aku hanya bersedih melihat ibu makin merana, bahkan nalar sehatnya mungkin sudah terenggut karena dia memang sungguh mencintai ayah. Aku tidak tega melihat ibu semakin terpuruk. Setiap hari hanya duduk di depan pintu menanti sesuatu yang tak niscaya. Bahkan sering berbicara sendiri. Puisi-puisi dari ayah senantiasa dibawa oleh ibu dan kerap sekali membacanya dengan suara yang lembut karena memang puisi itu sangat lembut. Kadang ibu berteriak-teriak tidak karuan memanggil-manggil ayah. Tak kulihat lagi sosok seorang ibu mirip dahulu. Banyak orang yang terharu akan dongeng hidupku ini. Semua mendukung dan mendorong supaya saya tetap tabah dengan cobaan yang bertubi-tubi ini.
Awal September tahun ini. Di suatu pagi yang cerah. Surat itu tiba kembali. Surat yang pengirimnya ialah Bondan Prakoso, tak lain ialah nama ayahku. Aku menyerahkan surat itu kepada ibu.“Ibu!, tadi pagi ada tukang pos yang mengirimkan surat ini untuk kita”
“Ha..! Kenapa saya tidak melihatnya dan bukan aku yang mendapatkannya?“ Tadi pagi ibu ke kamar mandi dan aku yang menemui tukang posnya”
Segera surat itu kuserahkan ke ibu. Surat di tengah bulan September. Ibu membukanya dan mulai membacanya.
“Assalamualaikum wr. wb.
Untuk Bagas anakku tercinta dan Risty istriku tersayang. saya menulis ini dengan sarat kasih sayang. Aku baik-baik di sini, tetapi kemarin aku sempat terluka di bab pergelangan tanganku alasannya adalah terserempet peluru ketika tembak dengan lawan. Maka dari itu kini tulisanku berlainan dengan tulisanku yang dulu. Walau bagaimanapun isi suratku takkan pernah berlawanan alasannya adalah saya menulis dengan suatu kasih sayang. Aku masih tetap sayang dan cinta terhadap kalian. Juli dan Agustus kemarin aku tidak sempat menulis surat alasannya saya sedang ditugaskan ke tempat terpencil dan aku tak sempat menuliskannya untuk kalian. Mungkin hanya ini surat yang aku tulis untuk kalian alasannya tugasku masih aneka macam. Baik-setuju kalian di sana. Untuk Bagas jangan malas belajar dan Risty istriku tersayang, aku sungguh sayang dan cinta kepadamu.
Wassalam wr. wb.”
Itu ialah di kertas yang berwarna putih. Dan sekarang Ibu mulai membuka kertas biru yang terlipat dengan sungguh indah dan rapi. Ia mulai membacanya.

“Risty sayang!

kau yaitu bidadari di balik pualam senja

kamu yaitu putih bingkai kehidupan

menemani lelap tidur dalam pulas mimpi indah

kamu sepuh buritan malam menjadi suatu risalah

terasa hangat kau selimutkan di hati

bermetamorfosis menjadi embun melukis indah pagi

teruntai canda dalam bilik senyummu

kau urai menjadi bait-bait pengiring hari

waktu tak usai juga mengejawantah warna dunia

kamu masih setia menemani kesepian jiwaku

dan menjinjing menjadi jiwa yang utuh”


Ibu menangis bahagia membaca surat tersebut. Ibu merasa bahagia alasannya mendapat surat dari ayah lagi.Tampak di pipinya buliran air mata kebahagiaan yang jatuh berlinang. Namun maafkan aku Ibu. Aku hanya tak mau ibu bersedih. Maka kutulis surat dan puisi itu. Surat itu bukan dari ayah.
Musim di permulaan Oktober tahun ini, tak mirip isu terkini setahun yang kemudian. Tak ada lagi ayah disisiku. Tak ada lagi kasih seorang ibu yang menyertai hari-hariku. Sekarang aku hanya cuma sepenggal lilin kecil di dunia ini. Namun saya masih punya tekad untuk menjadi lentera yang akan menerangi dunia. Sekarang saya sendiri merenungi dan memaknai hidup yang mesti aku jalani. Aku menyaksikan ibu. Ia sedang membaca lagi surat artifisial yang dulu aku tuliskan untuknya. Aku cuma ingin melihatnya senang. Ia masih menunggu surat-surat selanjutnya di tengah bulan, bahkan di bulan ini. Kamus besar bahasa Inggris masih berada dalam rak buku kesayanganku dan arloji anti air masih setia menmpel di tangan kiriku. Sementara saya di sini sedang bingung membuat sebuah surat dan seuntai puisi untuk tengah Oktober nanti dan saya pun juga bertanya-tanya pada diriku sendiri, sampai kapan saya mesti membuat surat-surat palsu untuk ibu.

Surakarta, 28 september 2007

Andi Dwi Handoko


Dimuat dan disunting SOLOPOS, Minggu, 16 Maret 2008
gambar dari: sofianblue.wordpress.com