Sunday, 10 October 2021

Malam Terkutuk

Malam mengerang tanda masih ada kekejaman yang berkeliaran di setiap sudut tempat Malam Terkutuk
Malam mengerang tanda masih ada kekejaman yang berkeliaran di setiap sudut daerah. Mata-mata merah itu masih berjaga dari balik jeruji pagar setiap rumah. Mereka menanti dengan nafsu yang berkejaran, sampai mereka dapat mendapatkan korbannya saat penghuni rumah mulai terlelap dalam mimpi.
“Jangan sampai kamu terlelap anakku!”
“Kenapa Bu? Aku sudah mengantuk, biarkan aku terlelap. Hari makin larut dan dalam waktu dekat sudah fajar”
“Tidurlah bila kamu memang telah letih, namun tidurkanlah ragamu saja, jangan hingga mata, asumsi dan jiwamu kosong alasannya terlelap”
“Baik Bu”
Tampak raut wajahmu takut melihat pandangan mataku yang tajam ke arahmu. Aku bahu-membahu tak tega menyaksikan tampang ayumu yang lesu itu. Tak tahan saya menyaksikan matamu yang memerah darah alasannya adalah lelah menahan kantuk. Rasa ibaku secara naluriah tiba. Namun aku lebih tak tega jika kau terlelap dalam tidur. Aku takut kamu akan tidur selama-lamanya dalam dunia yang gelap.
Anakku, rasanya detak jantung ibumu ini kian cepat berdetak, tapi terasa sekali nadi-nadiku makin usang semakin lemah. Rasakan semua yang kurasakan. Ku genggam tanganmu menjamah dadaku yang acuh taacuh dan berpacu dengan derasnya detak jantung. Terasa begitu berpengaruh dan menjadikan irama cemas dan kekhawatiran di setiap detaknya. Semua bercampur menjadi satu mirip alunan lagu iblis yang memekakkan gendang pendengaran. Pecahan bunyi itu terus menghempas indera-indera yang peka dengan bunyi yang menyayat kehidupan. Hingga setiap sudut malam terdengar gema yang meluruh bareng angin pekat.
Ketika fajar telah merentangkan sayapnya. Kulihat kau sudah tak tahan lagi membuka matamu. Dengan sapuan angin cuek, ku tampar wajahmu semoga kau tak terlelap. Kau mengerang kesakitan. Air matamu luruh dari bibir matamu yang memerah darah. Dalam isakmu, ku dengar nada kesedihan dan sedikit rasa kebingungan. Dari isakmu juga, ke dengar sedikit nada-nada kebencianmu kepadaku atas semua perlakuanku kepadamu. Walaupun demikian, tidakkah kamu tahu betapa aku sungguh mencintamu dan menyayangimu.
Matamu terlihat gusar menyaksikan perubahanku yang menjadi sosok ibu yang kejam bagi anaknya. Bahkan ibu kandung yang lebih kejam dari ibu tiri yang tidak senang anaknya. Muncul pertanyaan retoris dalam diriku, apakah ada seorang ibu yang ingin anaknya menderita? Semua ini ku lakukan untuk keselamatanmu juga.
Ku palingkan wajah, menatap pintu yang sudah terkunci rapat dari dalam. Semoga saja pintu itu tidak dapat terbuka dari luar hingga sinar mentari datang menyoroti dunia. Suara endusan makhluk buas itu masih terasa mengisi ruang pendengaranku yang masih jeli ini. Mungkin kamu tak mendengar, anakku! karena kamu belum cukup ilmu untuk menyimak hal semacam ini.
Aku dari dahulu telah menyangka jika malam ini akan tiba di tengah sela hidupku. Mungkin malam terkutuk itu akan tiba malam ini, mungkin juga malam-malam selanjutnya. Aku tak mampu memperhitungkan dengan pasti. Aku bukanlah seorang peramal. Aku hanyalah ibu dari seorang anak. Anak yang masih perawan dan berparas ayu itu yaitu hartaku yang paling berharga.
Aku meninggalkanmu sendiri dalam tempat tidur. Ku katakan lagi padamu bahwa kau tak boleh tidur hingga pagi nanti. Ku isyaratkan telunjuk tanganku untuk mengancammu. Ku selimutkan sebuah selimut tebal dan hangat di kakimu agar nyamuk tak menggigiti betismu yang putih itu. Aku keluar dari kamarmu hendak membuatkanmu kopi hangat semoga mampu menahan mata sayumu agar tidak terlelap.
Dari suatu jendela tanpa tirai, aku dapat menyaksikan mereka bersembunyi dalam semak-semak yang mulai berair oleh embun malam. Mereka yang bermata merah menyala menyerupai serigala hutan.
Langkah kakiku mulai gontai sebab intinya saya sendiri juga mulai mengantuk. Ku tuangkan air panas ke dalam dua buah cangkir kecil. Ketika ku menuangkan air panas itu, ku lihat air panas itu menguap dan bergerak membentuk semacam makhluk gila yang sering ku lihat final-final ini di waktu malam hari. Aku segera membaca mantra pengusir kejahatan yang sekitar tiga tahun kemudian di ajarkan oleh ayahku sebelum meninggal. Sekejap uap itu sudah menjelma makhluk yang berkepala serigala dan bertubuh insan. Aku terus membaca mantra dan ternyata ampuh juga. Makhluk itu berlari keluar menembus celah-celah jendela. Aku secepatnya membuat kopi dan kembali ke kamar.
Di kamar itu saya menyajikan kopi untukmu. Aku juga menikmati kopi yang ku buat sendiri.
“Pahit Bu!”
“Tidak apa-apa Nak, ayo diminum bertahap”
Aku tahu memang kau membenci bahkan jijik dengan rasa pahit. Aku sengaja menciptakan kopi pahit biar rasa kantukmu hilang.
Aku mendekat ke jendela. Dan ku lihat mereka menari-nari di bawah cahaya bulan. Bulan yang sudah berbentuk bundar sempurna. Purnama di tengah hitungan bulan. Ini memang tepat sekali untuk pesta pora bagi makhluk-makhluk turunan iblis mirip mereka. Mereka menelanjangi malam dan membuat kekalutan di segala kawasan.
Perlahan malam hingga pada puncaknya. Tepat sekali, waktu itu ialah waktu tengah malam. Ku dengar jasus merah itu keluar dari semak-semak dan bersahutan meneriakkan lolongannya.
“Lolongan kematiankah” aku membatin sambil kembali ke tempat tidur.
Lolongan-lolongan terus bersahutan mengisi hampa malam yang hambar.
“Tidak!! Semua tidak akan saya relakan untuk makhluk-makhluk kejam menjijikkan itu” saya geram sendiri menyaksikan kenyataan yang ada di kehidupanku.
Kembali sentra perhatianku tertuju pada sesosok badan mungil di depanku yang terasa berat menahan rasa kantuknya. Aku melemparkan senyum padanya. Ku belai rambutnya yang tergerai indah.
“Bu, aku tidur kini ya!” kau meminta dengan permntaan yang ikhlas.
Kembali saya tak tega untuk memarahimu lagi. Lalu ku ajak kau untuk menonton TV di ruang depan. Ku tuntun kamu melalui lantai yang dingin tersapu sepoi malam. Dalam langkah menuju ruang depan. Aku sempat menyaksikan ke arah jendela dan menyaksikan sesosok makhluk bermuka serigala dan bertubuh manusia menempelkan wajahnya tepat di kaca jendela. Seketika itu juga aku berteriak terkejut .
Ku lihat kau juga kaget mendengar teriakanku.
“Ada apa Bu?” dengan nada kepanikan kau bertanya padaku tentang apa bergotong-royong yang terjadi.
Tidak sengaja saya menjawabnya dengan bahasa kode berbentukacungan telunjuk yang mengarah ke jendela. Mataku tak berkedip melihat jendela dengan mulutku yang menganga lebar.
“Tidak ada apa-apa di jendela, Bu”
Aku segera sadar dengan keadaanku. Aku mampu menenangkan diriku dengan berkata “Memang tidak ada apa-apa di jendela, aku hanya menakutimu biar kau tak mengantuk.” sambil ku paksakan senyum kecil di wajahku. Sungguh sebuah argumentasi yang sungguh ironis.
Aku menyalakan TV untuk sekedar menghiburmu. Acara tengah malam memang tidak banyak mampu menghibur. Yang ada hanyalah suatu film yang menggambarkan wacana kekejaman. Tampak di layar TV memperlihatkan kobaran api yang meluluhlantahkan rumah-rumah. Ledakan terjadi di sana-sini. Dan ku lihat kau menikmati adegan-adegan itu di TV. Aku senang kamu mampu terhibur dan tidak mengantuk lagi. Aku pun semakin usang juga kian larut dengan cerita dalam film tersebut. Tak sadar fokus perhatianku justru tertuju pada film tersebut bukan kepadamu. Adegan demi adegan telah bisa menghipnotisku untuk menimatinya lebih lanjut. Dan juga ku biarkan kamu terlena dengan adegan-adegan itu. Aku tidak berpikir lagi bahwa ada ancaman di luar yang mengancam jiwa dan ragamu. Aku sendiri juga kian terlena dengan dongeng film tersebut. Namun lambat laun mataku pun sayu mirip terhipnotis oleh adegan film dan hambar malam. Tubuhku rubuh di atas tikar dengan mata terpejam. Terlelap dalam kesempurnaan mimpi.
Detik pun berlalu dengan cepat. Menit dan jam kesudahannya berganti. Aku menggeliatkan tubuhku. Dan secara gugup aku bangun dari tidurku. Ku lihat samar TV masih menyala. Kemudian pandanganku kembali ke arah samping. Tidak ada apa-apa di situ. Yang ada hanyalah sebuah bantal dan guling serta suatu selimut tebal menghampar tak beraturan. Pikiranku pribadi tertuju padamu, anakku!. Hatiku mengajukan pertanyaan-tanya “Di mana anakku?”
Ku cari kau di setiap sudut ruang dalam rumah itu. Ku telusuri setiap ruang-ruang kosong dari ruang depan, dapur kamar mandi sampai loteng. Tidak kutemukan sosok tubuhmu, anakku! Aku menahan rintih tangisku berharap semua akan baik-baik saja.
Aku terus mencarimu di setiap sela yang bisa ku cari. Tak ku temukan kau di manapun. Hatiku pun semakin bingung. Ku menjajal membuka pintu, namun hatiku tetap ragu. Antara ku buka dan tidak ku buka, pilihan itu membuatku semakin galau dan gelisah serta takut yang mendalam. Akhirnya dengan dorongan jiwa yang kuat, ku buka pintu itu secara perlahan. Dan ku dapati pemandangan di depanku yang membuatku kaku membeku dan tak mampu berkata apa pun.
Makhluk-makhluk bermata merah menyala itu telah mendapatkan badan anakku. Mereka menjilati setiap bab badan anakku. Keperawanannya pun sudah terenggut oleh makhluk yang terbesar di antara puluhan makhluk itu. Aku hanya tercekat membisu tak bergerak. Menyaksikan puluhan makhluk menggerayangi tubuh anakku yang putih mulus dan ayu itu. Bahkan mereka menghisap darah keperawanannya dengan buas. Aku sebetulnya tak tahan mendengar erangan dari lisan anakku yang kesakitan. Sampai sementara waktu, erangan itu berhenti dan tak ada suara anakku lagi. Yang ada hanyalah bunyi lolongan makhluk-makhluk buas itu. Aku merintih menangisi semua apa yang sudah terjadi. Aku tidak mampu menangkal ulah makhluk-makhluk kejam itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya memecah lolongan mereka di antara fajar yang sudah meninggi.
Dan makhluk yang paling besar pun menemuiku.
“Terima kasih atas kesediaannya mempersembahkan anak perempuanmu yang masih ranum dan perawan itu”
“Iblis kau, setan ganjal, bedebah”
“Tak usah memakiku seperti itu, memang itulah saya, tetapi kamu juga tak boleh menyesal sebab leluhurmu sudah berjanji di atas malam. Setiap tiga tahun sekali di antara purnama yang tepat untuk memberi tumbal. Dan kamu sudah diberi dispensasi untuk tidak memberi tumbal bila seluruh anggota keluargamu bisa tidak terlelap mimpi hingga pagi hingga simpulan purnama yang tepat”
Aku menangis sejadinya. Tak bisa menahan tetes air mata. Ku lihat sosok tubuh anakku kini telah menjadi bangkai.
“Anakku!! Ku tangisi kepergianmu dengan air mata penyesalan.” Bisikku dalam hati.
Semua telah berlalu. Aku tidak tahu salah siapakah ini. Leluhurku yang penuhdengan ilmu-ilmu hitam pesugihan atau saya yang lengah untuk mempertahankan peraturan itu.
Tiga tahun pun berlalu. Malam-malam terkutuk masih menungguku. Entah sampai kapan, mungkin hingga mereka menjemput ajalku dan seluruh keturunan leluhurku pun habis tanpa sisa di bumi ini.
Dan malam-malam pun mengerang tanda masih ada kekejaman yang berkeliaran di setiap sudut kawasan. Mata-mata merah itu masih berjaga dari balik jeruji pagar setiap rumah. Mereka menanti dengan nafsu yang berkejaran, sampai mereka dapat mendapatkan korbannya ketika penghuni rumah mulai terlelap dalam mimpi. Entah sampai kapan?

Surakarta, 19 Februari 2008
gambar dari: nesia.wordpress.com