Sunday, 10 October 2021

Mimpi Panjang

 Lirih Lelaki itu bertanya pada dirinya sendiri Mimpi Panjang
“Arghh…..! di mana aku ini?” Lirih Lelaki itu mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri. Terasa sesak napas mencoba menghirup udara di sekitarnya. Kepalanya sakit kepala seperti terbentur benda keras. Dia menjajal bangkit dengan tenaga yang tersisa. Ia telihat sempoyongan untuk menegakkan tubuh, supaya berpengaruh untuk berdiri. Dan sekarang pun ia sudah bangkit tegak dengan segala rasa yang menyerang tubuh.
“Di mana aku” Ia kembali bertanya pada dirinya sendiri atau ada orang lain yang memperhatikannya. Namun pertanyaan itu cuma hilang tertelan angin. Ia seperti orang asing di kawasan itu. Ia terlihat resah dengan keadaan sekitarnya. Jauh ia mengerutkan kulit dahinya hingga membentuk garis-garis yang semakin terang. Lelaki itu sudah tampak tua. Bahkan usianya kini mungkin sudah menapak ke kepala enam. Jika menyaksikan fisiknya, beliau tampak seperti seorang yang usianya sepuluh tahun lebih muda dari usianya sebetulnya.
Ia menjauh dari tempat itu. Berjalan gontai menelusupi kota kawasan kelahirannya. Namun dia terlihat heran dengan semua yang ada di depan matanya. Ia tak mengenal secara bersahabat kota yang telah menumbuhkannya menjadi seseorang yang memiliki arti dan mengerti makna kehidupan. Ia yakin benar ia sedang berada di kotanya, namun ia menyaksikan kondisi kota kelahirannya ini jauh sekali perbedaannya dengan keadaan sebelumnya. Ia kian percaya bahwa kota itu adlah kota kelahirannya dengan membaca suatu papan yang beruliskan “Selamat Datang di Kota Solo”. Ia terus berjalan mencari sebuah titik jelas ihwal kebimbangannya. Ia merasa gusar dan sedikit dicekam panik. Ia tetap berlangsung lurus ke depan.
Sejak tadi laki-laki itu belum bertemu atau berpas-pasan dengan seorang pun. Sepi. dia hanya mendengar sayup kendaraan-kendaraan kota. Ia terus berlangsung, lalu dia menengok ke sebuah arah. Ia melihat sebuah bangunan yang memanjang dan sungguh panjang. Ia mendekati bangunan itu. Dari dalam bangunan itu terdengar suara air yang mengalir. Lelaki itu kian galau dan masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri ihwal apa yang terjadi bekerjsama. Ia membaca sebuah tulisan yang menyatu dalam bangunan tersebut “ Sungai Bengawan Solo”. Ia kaget dengan apa yang dibacanya. Kemudian ia memasuki bangunan itu. Tampak di depannya sungai yang airnya lambat mengalir. Airnya pun keruh dan mempunyai warna yang beragam. bau yang ditimbulkannya pun sangat menyengat. Bahkan mungkin jika betah berada di dalam bangunan itu selama 3 jam saja telah pingsan alasannya adalah busuk yang sungguh tidak mengenakkan. Lelaki itu menangis. Ia tahu sungai Bengawan Solo yang dulunya sungguh indah sekarang telah ditutup dengan bangunan yang besar dan memanjang, entah sampai di hulu dan di hilir atau tidak. Bangunan itu sangat kuat dan kuat sampai sebesar apa pun banjir yang ditimbulkan oleh Bengawan Solo niscaya tak akan mampu menjebolnya.
Ia kemudian ingat masa lalu, dikala dia masih kecil dan sering memancing di sungai itu. Banyak ikan yang dapat beliau pancing. Setelah bosan memancing, biasanya dia kemudian terjun ke dalam sungai untuk sekedar berenang-renang melawan arus yang mengalir dari atas.
Ia meninggalkan daerah itu dan menuju ke suatu kawasan yang tidak jauh dari daerah yang ditinggalkannya. sehabis hingga, beliau makin bersedih dan air matanya pun menetes kembali. Ia berada di suatu pinggir jalan yang padat arus. Ia sungguh yakin pada dirinya sendiri bahwa dia mengenali tempat itu. Tempat itu dahulu adalah jembatan Jurug yang menghubungkan sebuah jalan raya yang terpisah oleh sungai Bengawan Solo. Sekarang jembatan itu sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada lagi kawasan yang terpisah oleh sungai Bengawan Solo karena bangunan itu telah menghubungkan segala tempat sekaligus menutupi sungai bengawan solo dengan racunnya. Bengawan solo sekarang mirip parit yang besar yang menghubungkan dan mengitari puluhan kota di Jawa. Ia masih ingat, dahulu beliau pernah menyelamatkan seorang mahasiswa yang mau bunuh diri dengan terjun dari jembatan itu alasannya adalah hamil di luar nikah.
Ia meninggalkan kawasan yang beliau yakini bekas jembatan Jurug. Ia berlangsung di pinggir jalan raya. Kakinya kecil menapak trotoar yang kian panas oleh sengatan mentari. Peluh terlihat membasahi dahinya, kemudian lambat turun ke sekitar pipi. Ia terus berlangsung berpacu dengan kendaraan kota yang lewat jalan. Ia baru menyadari, kendaraan yang berada di jalanan telah berbeda jauh dengan kendaraan yang dulu, walau beberapa masih ada yang sama. Kendaraan-kendaraan itu kelihatan nyaman kalau dikendarai. Lelaki renta itu ingin naik kendaraan biasa yang sedang menanti di halte, namun ia segera menyadari bahwa ia cuma mempunyai sedikit uang. Uang itu diambil dari saku celana batiknya. Hanya cukup untuk makan siang ini. Ia mengembalikan kembali uang itu ke dalam saku celana batiknya. Kemudian ia menata kembali letak blankonnya. Beskap batik yang dikenakannya pun sudah lembap karena keringat. Dan hingga saat in, ia belum memahami mengapa kondisi kotanya berubah drastis. Ia pun tak tahu kapan pergantian itu terjadi, semua sudah tampak berbeda, bahkan jauh berlawanan.
Ia berkeliling untuk mencari minuman untuk sekedar meminimalisir dahaga yang dirasakannya. Sudah lama ia bejalan tetapi belum ditemuinya pedagang minuman. Ia ingat dulu di sekeliling jalan ini aneka macam pedagang kaki lima yang menjajakan banyak sekali minuman bahkan makanan bunkus atau siap santap degan harga yang murah. Namun keaan mirip berubah 180 derajat, dia tak lagi mendapatkan pedagang-pedagang. Ia hingga pada perempatan jalan, berharap ada penjualasongan yang menjajakan minuman cuek bagi pengendar yang terkena lampu merah. Ia pun tidak mendapatkan pedagang asongan. Lelah telah ia berkeliling. Ia tak tak tahan dengan dahaga yang dirasakannya. Ia nekad untuk menghabiskan uangnya untuk berbelanja sebuah minuman kaleng di suatu toko. Ia menghampiri toko yang berada di pinggir jalan itu dan masuk untuk menentukan minuman yang ada di sana. Ia menunjuk sebuah botol air putih , sekiranya uangnya cukup untuk membelinya, walau uang makan siang hari ini yang dia punyai akan habis untuk membeli minuman itu. Ia memberikan semua uangnya terhadap penjaga toko itu. Namun penjaga toko itu heran melihat uang dan lelaki itu. Penjaga toko menjelaskan bila duit itu tidak laris, bahkan semenjak beliau kecil beliau belum pernah melihat bentuk maupun jenis uag yang diserahkan oleh lelaki itu. Lelaki itu pun tidak jadi membeli minuman di sana. Ia makin galau dan kian bingung dengan kondisi yang dialaminya. Apakah beliau terkurung dalam sebuah dunia yang jauh. Tapi ia masih terperinci merasakan bahwa ia berada di kota kelahirannya, Solo.
Ia berjalan ke sebuah arah. Ia menuju komplek perumahan. Ia ingat terperinci bahwa dulu komplek ini adalah gugusan rumah kumuh yang dihuni orang-orang urban yang tidak mempunyai rumah tetap di Solo. Termasuk dirinya, beliau tibnggakl di komplek itu. Sekarang ia terlihat bingung, kenapa begitu cepat waktu merubahnya. Ia mencri rumahnya, tetapi begitu susah alasannya adalah semua telah berganti drastis. Namun dari firasat hatinya, dia tahu eksistensi rumahnya. Ia begitu kaget, tanah yang dahulu beliau tempati sebagai rumahnya sekarang menjadi lapangan tenis yang berpayung atap yan teduh sehingga pemain mampu bermain di sana sepanjang waktu tanpa takut terik mentari. Ia berpas-pasan dnegan seseorang. Kebiasaan orang Solo yaitu saling menyapa dan laki-laki itu menyapa orang yang berpas-pasan dengannya. Tidak ada sahutan dari orang yang di sapanya. Hal itu berlanjut ke setiap orang yang ditemuinya. Bahkan ia sering di anggap orang gila dengan mengenakan pakaian yang antik. Budaya saling menyapa atau aruh-aruh pun sekarang sudah menghilang. Ia sadar walaupun letih merayapinya, namun beliau masih tampak rapi dan gagah dengan busana yang dikenakannya. Ia semakin letih dan lelah. Dahaga tak mungkin di tahannya lagi. Ia mencari air, dan beliau mendapatkan air ledeng. Ia segera menuntaskan dahaganya dengan menenggak air yang keluar dari kran ledeng. Ia tak menghiraukan apakah air itu bersih atau tidak.
Ia sudah hingga pada suatu Mall yang sangat besar, bahkan beliau terperanjat dengan apa yang dilihatnya. Ia baru kali ini melihat bangunan yang megah sebagai pusat perbelanjaan. Ia ingin masuk ke dalamnya, namun penjaga sudah mengusirnya terlebih dahulu dengan tidak sopan. Padahal seingatnya, ia belum pernah menerima perlakuan yang tidak mengenakkan mirip ini. Ia selalu dihormati di mana beliau berada. Ia menagis dalam hati. Air matanya tak lagi dapat keluar. Pelupuk matanya sudah membiru, terasa perih jika mesti terlewati air mata lagi.
Ia yakin sentra perbelanjaan yang mau di masukinya tadi, dahulu adalah sebuah pasar tekstil. Pasar Klewer. Di sanalah dulu ia berjumpa dengan seorang wanita yang menjadi istrinya. Dan kini pun ia tak tahu di mana istrinya berada. Sebuah dongeng cinta terjadi di dalam pasar sebab suatu tawar menawar yang berkepanjangan dan justru hingga di pelaminan. Dan kini pasar itu telah tak ada lagi, tergantikan gedung mewah yang entah berapa ongkos yang dihabiskan untuk membangunnya.
Ia berjalan menjauh dari sentra perbelanjaan itu. Ia berlangsung ke selatan berharap ke sebuah daerah yang mana dia selalu mengabdi di kawasan itu. Tempat itu ialah Keraton Solo. Ia mencari keberadaan Keraton. Ia tak menjumpainya. Dan kini keraton sudah tiada, tergantikan sebuah arena permainan bagi anak-anak. Ia kian menangis haru, bahkan kali ini air mata yang tadi sudah kering, keluar dari matanya lagi. Sungguh hal yang sangat mengenaskan. Ia senantiasa gembira menjadi suatu abdi keraton, tetapi kini apa yang dibanggakannya. Keraton pun sudah berkembang menjadi menjadi taman permainan bawah umur. Sejarah telah tiada. Sejarah sudah hilang. Dan sekarang yang terang orang tak menghargai bahkan tidak tahu sejarah.
Letih tubuhnya telah menjalar ke dalam jiwanya yang gontai. Ia kian tak kuasa menghadapi realita yang dialaminya. Ia berjalan lagi ke arah barat. Modernisasi telah merubah kotanya. Kota Solo. Kota Budaya. Kini budaya-budaya yang diturunkan oleh nenek moyang berubah dengan suatu budaya modernisasi. Budaya globalisasi dengan segala kemewahan.
Ia terus dan terus berjalan. Ia tak mampu menghadapi realita yang sudah mengganti kota kelahirannya. Sekarang kota Solo bukan lagi kota budaya, bukan tempatnya orang saling aruh-aruh atau berdaya tarik tentang kelembutan. Ia menangis sejasi-balasannya. Air matanya tumpah membasahi jalan yang dilaluinya. Ia meronta-ronta dengan apa yang dialaminya. Ia tidak mau kota Solo menjadi begini. Ia tidak ingin kehilangan kota solo yang sarat dengan budaya, akhlak, budpekerti dan segala kesederhanaanya yang estetis. Hingga ada sekelompok polisi menangkap laki-laki itu alasannya adalah dianggap meresahkan masyarakat. Ia secepatnya di gelandang ke dalam penjara. Di dalam penjara dia berteriak sekeras-kerasnya. Ia menyebut Solo kota kelahirannya berulang-ulang.
“Solo kembalilah......Solo kembalilah..............”

*****
“Solo kembalilah......Solo kembalilah..............Solo kembalilah.....” Suara laki-laki itu terlihat menciptakan orang-orang yang menunggunya menjadi semakin khawatir dengan keadaannya. Sudah tiga hari ini beliau pingsan semenjak di seruduk oleh kerbau bule sewaktu akan dikirab. Disebuah ruangan di komplek keraton itu, lelaki itu masih mengigau dengan kata-kata yang serupa. Orang-orang pun kaget mengapa laki-laki itu dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. Padahal sejauh diketahui orang-orang, laki-laki itu cuma mampu bicara dengan bahasa jawa. Dukun-dukun sudah didatangkan tetapi ia belum pulih juga dari pingsan dan igauannya.
Menjelang malam, lelaki itu tersentak dan bangun dari pingsannya. Tampak sayu biru menyelimuti warna parasnya. Ia betul-betul sudah sadar. Ia ditanyai beberapa orang yang menungguinya, tergolong istrinya. Ia begitu kangen dengan istrinya, tetapi beliau tidak sempat untuk memeluk istrinya. Ia langsung berlari keluar ruangan. Tampak ia segera bersujud syukur. Ia masih menyaksikan bangunan keraton masih utuh dengan segala aktivitasnya. Dengan dibantu berlangsung beberapa orang termasuk istrinya. Ia ingin nekad untuk pergi ke sebuah tempat di sekitar keraton. Dan dia sudah melihat kawasan itu. Pasar Klewer. Ia pun membatin dalam hati,
“Ouh...ternyata semua itu hanya mimpi”.Solo tetaplah Solo, masih mirip dulu, kaya akan budaya.

gambar dari: www.solonet.co.id