Sunday, 10 October 2021

Sekelumit Nyanyian Surga

Kau akan tampak lebih cantik jika tak ada garis hitam yang melingkari indah matamu Sekelumit Nyanyian Surga
Kau akan tampak lebih manis jika tak ada garis hitam yang melingkari indah matamu. Perpaduan yang sangat memesona hati bila kau tersenyum kecil tanpa garis hitam tersebut. Sekarang, saya memandang wajahmu yang kelam. Aku terpaku tanpa tangis maupun tawa dalam diriku. Seperti barisan semut dalam tembok yang kusam, jari-jarimu bergerak kecil membentuk untaian tarian magis. Tarian iblis yang pernah kulihat di setiap mimpi-mimpi malam yang penuh dengan karat menghitam. Sementara aku akan tetap disini mengawalmalam-malam dengan keinginan yang menggantung dalam angan.
Kau cuma diam memaku tanpa tatap. Matamu terpejam seakan-akan kau sedang mengalami mimpi paling sempurna selama kau terlelap di dunia ini. Kulitmu tampakpucat membeku, tertusuk jarum infus yang senantiasa memberimu makan biar otot-ototmu kuat untuk menahan roh di dalam tubuhmu. Secercah warna cahaya pagi pun tak membangunkanmu dari tidur yang begitu lelap.
Secangkir kopi pahit selalu ku sajikan di sisimu. Agar kau menghirup betapa wanginya kopi itu. Dan berdiri untuk mencicipinya bareng kicauan burung yang setia mengawalpagi bisu. Kopi dengan sedikit gula. Kopi kesukaanmu.
”Aku hanya minum kopi pahit di pagi hari. Tak boleh ada kafein yang masuk dalam tubuhku kalau hari sudah gelap, jika surya sudah padam. Aku akan tak bisa tidur malamnya” katamu menolak halus tawaranku untuk minum kopi di sebuah angkringan ujung jalan Malaiboro malam itu. Namun pagi ini, kamu tak tergugah untuk secepatnya menikmati kopi yang khusus ku siapkan untukmu. Mungkin pikiranku hanya bisa menerka-ngira kalau kamu sudah bosan untuk menikmati kopi pahit di pagi hari. Dan aku cuma menunggu malam berharap kebiasaanmu menjadi berganti, yakni menikmati kopi pahit di malam hari. Kenyataannya saat malam datang, kamu masih membeku bareng kopi pahit yang telah dingin di sampingmu.
Aku mengeja doa berharap kau secepatnya mengetahui akan kesedihan tanpa tangis dalam tubuhku. Air mataku tak pernah mengalir untuk menyatakan bahwa kesedihan yang kurasakan terlalu dalam. Begitu dalamnya kesepian dan kesedihan yang kurasakan, air mata dan tangisanku hanya dapat mengalir membahana dalam tiap sudut jiwaku. Hanya saja di dalam telingaku tak jarang timbul bisikan-bisikan halus yang selalu membuatku bingung menikmati malam. ”Sabarlah! Serahkan dia dengan lapang dada kepada malaikat-malaikat putih yang senantiasa menunggu di atas kepala dan kedua telinganya!”. Bisikan itu selalu datang menyergap alam ketidaksadaranku. Menjadikanku insan yang lemah kepada godaan-godaan yang rasanya tak perlu aku lakukan.
Dahan-dahan kering telah menjadi lapuk. Keropos akhirnya jatuh terjerembab bersinggungan dengan tanah yang siap menguraikan semua partikel dahan tersebut. Seperti itulah mungkin yang mau terjadi pada tubuhmu yang putih dan sintal itu. Pikiranku terlalu jauh membayangkanmu mendiamkan waktu. Terlalu lama otakku keruh sebab tak ada lagi sambutan senyum manismu di setiap hariku. Yang aku lihat hanya seonggok tubuhmu yang semakin hari semakin pucat bercengkerama dengan residu yang sudah mengaliri seluruh darah dalam tubuhmu.
Semua ini salahku. Penyesalan memang senantiasa menghantui ketika semua dongeng sudah terjalani. Jika saya mampu kembali ke masa kemudian, maka saya akan melakukan hal yang terbaik dalam hidupmu. Tapi semua itu hanyalah angan semu, tak akan ada kenyataan di dalamnya. Bahkan saya rasa tidak ada sama sekali kesempatan timbul suatu keniscayaan di sana. Makara semua yang terjadi biarlah terjadi, biarlah waktu yang hendak terus menghakimi dan mengadili setiap sikap insan. Termasuk kita. Aku dan kau.
Hatiku menjerit tertahan penyesalan. Teringat dahulu saat aku mengenalkanmu pada suatu benda jelmaan sesosok iblis yang sangat kejam. Yang suka menari-nari di tengah gelapnya malam. Bahkan suka melayangkan nafsu liar dalam sebuah hayalan yang terlalu tinggi untuk ukuran insan biasa. Kemudian ingatanku melayang ke sebuah kejadian yang melukiskan pertemuan kita pertama kali di suatu angkringan di sudut jalan Malaiboro.
***
Jalanan di sekeliling Malaiboro melenggang sepi. Jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan rintik-rintik mungkin ialah penyebab utama sepinya malam itu. Hanya ada saya dan kau di dalam angkringan tersebut. Semburat tatapmu menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Namun wajahmu mengatakan sebuah ketegaran yang bisa menutupi semua kesedihan yang kau rasakan. Gurat-gurat bekas tetesan air matamu tak begitu jelas terlihat. Mungkin saja kalau kamu suka memakai riasan di wajahmu, bekas air mata itu akan tampaklebih jelas. Wajahmu begitu alami, dan mungkin saja perkiraanku sempurna. Kau tak suka berdandan. Sejenak dalam suatu jerat kebisuan, aku mencoba memulai percakapan.
”Gilang” saya memperkenalkan diri dan menjulurkan tanganku untuk menjabatmu. Kau tampak tersenyum kecil yang dipaksa. Harapanku untuk menjabat tanganmu tampaknya tak menerima respon yang baik. Kau cuma mengaduk-aduk segelas teh dihadapanmu dengan sendok kecil di sela-sela genggaman jarimu yang lentik. Ku tahan malu pada penjaga angkringan yang tersenyum simpul menyaksikan apa yang aku lakukan. Tanpa mencampakkan waktu yang ada, aku langsung menyeruput kopi panas tanpa gula. Mencoba menenangkan rasa aib dengan berpikir tak ada peristiwa di angkringan itu.
Tak terduga kau mengomentari bagaimana saya meminum kopi itu. ”Lidahmu akan mengelupas jikalau minum kopi panas mirip itu!”. Kau memandangku. Tampak sekali getaran kesedihan yang tersirat di setiap kata yang kau ucapkan itu. Aku cuma diam. Tak berjalan usang kamu berkata lagi, ”Pacarku dulu mengajariku cara minum kopi panas. Tuangkan sedikit kopi panas itu ke ganjal cangkir kemudian seruputlah, lebih aman bagi lidahmu yang ranum itu. Begitu katanya yang halus mengajariku”. Kemudian sejurus saya menyaksikan air mata yang mengaliri kulit pipimu yang terlihat begitu halus.
Aku menjadi serba salah dan hanya terdiam di sampingmu sambil sesekali memainkan sendok di dalam cangkir kopiku. Seolah waktu berlangsung melambat dan kau menyebut namamu dengan terang. Masih terngiang begitu lembut kamu mengucapkan namamu sendiri. Rasti. Saraswati lengkapnya.
Entah karena situasi yang mendukung atau memang sengaja takdir mempertemukan kita. Kau dan saya begitu cepat sekali dekat. Setelah menghabiskan segelas kopi dan segelas teh di kedai itu, kita berjalan menembus jalan Malioboro ditemani malam pekat dengan sentuhan kabut setelah gerimis. Di suatu tempat duduk rancangan taman terbuka di sekitar beteng Vredeburg kau menceritakan semua dongeng kesedihan yang kau alami. Aku cuma manggut-manggut mengetahui akan kesedihanmu. Cinta katamu. Putus cinta yang sangat menyakitkan.
Seiring malam yang terus merambat, tak sadar kau sudah menyandarkan kepalamu di bahuku. Tampak angin malam membelai rambutmu yang busuk tertangkap indera penciumanku. Entah mengapa juga, impulsif tanganku mengelus buraian rambutmu. Mencoba menenangkanmu bareng sepoi angin malam.
Ibarat memancing di air keruh. Iblis-iblis dalam benakku membisikkan sesuatu padaku. Mereka menari-nari di setiap rajutan urat sarafku. Aku makin terbuai dengan tarian itu. Akhirnya saya memberimu rekomendasi biar kesedihanmu itu lenyap dalam waktu yang sekejap. Kau segera menegakkan kepalamu dari sandaran bahuku. Kau memandangku tajam dan sarat rasa penasaran kamu menunggu sesuatu yang terucap dari mulutku. Aku agak nervous dan menengok kanan kiri kemudian mengeluarkan sesuatu dari celana panjangku. Sebungkus plastik dengan isi beberapa pil iblis. Semua darah iblis telah diramu menjadi suatu pil kecil yang padat.
Ku lihat tatap matamu penuh rasa heran. Kau menggeleng tanda tak baiklah. Aku segera menjangkau tanganmu meyakinkan dengan rayuan iblis yang begitu lembut hingga kamu luruh. Kau terlihat menurut mirip boneka yang senantiasa menjadi objek permainan bocah di bawah umur. Kau mengajakku ke sebuah kontrakan di kawasan Gejayan. Kau menukar isi dompetmu dengan beberapa pil iblis itu. Aku bahu-membahu tak berencana untuk menghancurkan hidupmu. Aku cuma berupaya untuk menjaga status mahasiswaku. Aku tidak ingin terkena drop out hanya alasannya adalah tak ada ongkos untuk melunasi tanggungan tiap semester. Orang tuaku yang cuma hidup sebagai petani di desa cuma cukup memberiku uang makan tiap bulan. Tidak cukup untuk biaya pendidikanku. Aku juga merasa kasihan terhadapmu. Namun tak ada opsi lain, cuma dari dirimulah impian pertama itu timbul.
Kau tampak begitu menikmati malam itu dengan sebutir pil iblis yang kejam menyayat urat sarafmu. Di dalam kamar kontrakanmu itulah kau menikmati indahnya alam maya. Kau mengajakku untuk menikmati alam mayamu. Kau meracau tak karuan. Katamu kamu sedang bernyanyi nyanyian surga bareng malaikat-malaikat kecil. Aku cuma tersenyum geli mendengar ocehanmu. Tak ku kira kamu begitu berani menelan pil itu. Sejenak saya kepincut dengan ajakanmu. Namun nalar sehatku masih melakukan pekerjaan dengan baik. Aku tidak mau menelan pil iblis tersebut. Aku cuma ingin menemanimu sampai kau tertidur lelap dengan sejuta mimpimu itu.
Dan tidak cuma malam itu saja kamu menghabiskan waktu-waktumu untuk bersenandung mesra di antara ribuan mimpi semu. Setiap waktu kamu selalu mencariku untuk menebus pil demi pil hingga kau yakni pintu utama untuk meneruskan pendidikanku. Sebenarnya aku bukan pembuat pil-pil tersebut, saya cuma sebagai perantara dengan komisi yang cukup menjanjikan. Begitulah seterusnya sampai kamu senantiasa akrab denganku. Sedekat hatimu dengan hatiku.
Detik demi detik. Menit demi menit. Hari pun berganti. Kisah terus berlanjut. Tak ku sangka perasaan itu muncul. Perasaan yang senantiasa mengharapkan kebersamaan antara saya dan kamu. Seperti ranting dengan daun, ku ingin kita sedekat itu. Namun batinku selalu menangis, ternyata kau terlalu dekat dengan pil iblis tersebut. Semua memang salahku, kamu senantiasa mencariku, bukan mencari hatiku, namun mencari apa yang saya bawa. Yah pil setan itu. Selalu dan senantiasa, sampai aku merasa begitu kasihan padamu.
Setiap kau tiba padaku, seolah kamu menceritakan dengan tangisan yang murung. Kau merengek seperti bayi yang telah usang kehilangan susu dari tetek ibunya. Kau selalu meminta pil tersebut. Tak kuasa hati dan dengan tangan yang begitu berat aku memberikannya kepadamu. Mungkin saya terlalu sayang padamu sampai aku tak mampu melihatmu begitu menderita tanpa menyantap pil tersebut. Sejenak ku tatap matamu, tak ada tatapan mata yang bagus. Hanya bayangan tarian iblis yang tergambar dalam lensa matamu. Rasti yang dulu telah hilang, tetapi hatiku selalu berkata bahwa itu adalah kau.
Dan di malam itu. Aku heran kamu sudah usang tidak mencariku. Terasa ajaib, bahkan lebih aneh dari pada temuan makhluk ajaib di daratan Eropa. Iblis-iblis dalam tubuhmu niscaya akan kelaparan jika tidak kamu beri pil itu. Jika dulu kau mencariku, malam itu aku mencarimu. Aku menemukanmu, tetapi setengah badanku kaku menyaksikan keadaanmu. Badanmu tengkurap di lantai kamarmu dengan busa putih keluar dari mulutmu yang begitu ranum. Di sekitarmu terdapat banyak pil dan beberapa jarum suntik. Entah dari mana kau peroleh semua itu, aku juga tidak percaya langkahmu terlalu jauh dengan barang-barang seperti itu.
Hingga sekarang kamu masih terbaring tanpa daya di atas pembaringan itu. Sejenak ku pandang lekat wajahmu. Dalam lelapmu kamu tersenyum kecil, seakan-akan kau sedang menikmati alam yang teduh dan tenang. Setelah nyaris setengah purnama kamu terbaring, baru kali ini ku lihat engkau tersenyum. Senyum dari manakah itu, aku pun tak tahu. Kau pun kemudian tersadar. Begitu sempurnanya perasaanku kau bisa kembali menyaksikan dunia dengan tatapan indahmu. Tak ku jumpai lagi tarian iblis di sana. Dan sehabis urat-urat tubuhmu mengumpulkan daya, kamu bercerita wacana apa yang tidak aku ketahui. Suaramu terdengar begitu parau dan terbata-bata, seolah kamu gres saja berguru bicara.
”Gilang, saya baru saja menyinggahi suatu daerah yang begitu indah. Tampak kolam-kolam dengan air jernih dan taman-taman yang terawat rapi. Belum pernah aku menjumpai tempat seindah itu. Kemudian aku mendengar nyanyian yang begitu merdu. Merdu sekali sampai hatiku bergetar lembut saat mendengarnya. Aku pun bertanya pada seseorang yang melintas di daerah itu ’nyanyian apakah itu?’ Dia mengatakan bahwa itu yaitu nyanyian surga. Aku ingin kembali ke sana Gilang!”
Aku pun cuma mengangguk tanda baiklah dengan apa yang sudah kau lihat. Padahal selama ini kamu hanya terbaring lemah. Kau menceritakan pada siapa saja tentang apa yang telah kau lihat. Hatiku pun bergetar mendengar ceritamu. Terasa begitu asing. Dan yang tak kalah membuatku terkejut ialah dikala kamu melakukan tayamum dan beribadah di atas pembaringan itu. Tak pernah ku lihat kamu salat dan berdoa sekhusuk itu. Bahkan sebelumnya belum pernah sekalipun saya melihatmu salat sebab waktumu banyak dihabiskan denganku.
Aku terpana menyaksikan perubahan yang begitu drastis pada dirimu. Terus jelas saya takut kalau harus kehilanganmu. Aku pun sadar untuk memberi ketenangan di dalam ruang itu. Aku keluar dari bilik tersebut. Namun aku kembali dikagetkan dengan raut paras orang tuamu di luar. Ibumu menangis tertahan. Ayahmu menatapku dengan tatapan mata kosong yang menyiratkan aura kesedihan. Belum sempat saya mengajukan pertanyaan apa yang terjadi. Ayahmu memberi selembar kertas. Segera ku buka dan membaca apa isinya. Seperti meledak isi kepalaku. Kertas itu adalah hasil uji laboratorium.
Aku menahan tangis dan berteriak lirih ”Bangsat kau virus iblis”. Setelah itu kepalaku pening dan ku lihat dalam bayanganku, kau jauh terdengar samar menyanyi lagu yang begitu merdu. Entah lagu apa? Mungkin saja nyanyian surga.
Surakarta, 15 April 2008

gambar dari:gumampelabuhan.blogspot.com