Sunday, 10 October 2021

Pelukis Wajah

Sejak berkenalan di pameran seni rupa seminggu yang lalu Pelukis Wajah
Sejak berkenalan di festival seni rupa seminggu yang lalu, dia sering mengontakku. Aku pun dengan bahagia hati menerima telepon atau membalas SMS darinya. Dia salut terhadap tulisanku yang mengupas karya-karyanya yang terpampang di pameran tersebut pada suatu majalah. Aku memang wanita pecinta seni dan seorang yang menggeluti dunia tulis menulis. Aku salah satu awak redaksi di majalah tersebut yang mengasuh suatu kolom seni dan budaya. Biasanya aku cuma meminta esai dari seniman-seniman terkemuka atau para penulis lepas. Tidak tahu mengapa, setelah menyaksikan ekspo di galeri seni itu, aku ingin mengupas karya-karya darinya.
Dia memang pelukis awam dan belum begitu diperhitungkan dalam jagad seni rupa Indonesia. Dia termasuk pelukis muda, kira-kira usainya terpaut tiga tahun di atasku sedangkan aku berumur dua puluh lima tahun. Aku begitu mengagumi karya-karyanya yang sebagian besar beraliran absurd itu. Saat menghadiri pekan raya itu, saya sempat melihat bagaimana ia meramu cat minyak di atas kanvas putih berskala sedang. Setiap goresan cat membentuk suatu alur yang ritmis dan berpadu dengan warna-warna eksotis hingga berakhir dengan lukisan yang terlihat begitu magis.
Semakin hari aku semakin sering mendapatkan telepon dan SMS darinya. Ketika berjumpa pertama kali dengannya, dia terkesan sebagai lelaki yang tak banyak bicara. Pandanganku tersebut ternyata salah. Di dalam telepon dia mampu membuat obrolan yang nyaman. Banyak sekali yang kita obrolkan. Dulu memang obrolan hanya terkait dengan dunia kesenian, namun kian hari kian merambah ke persoalan-problem lain. Tak jarang pula merambah ke duduk perkara yang agak privasi.
Tidak hanya sebatas dialog saja, kita juga sering kopi darat dengan mengunjungi pekan raya-ekspo seni atau sekedar mengisi waktu luang dengan menonton teater di Taman Ismail Marzuki. Semakin hari terlihat sekali kedekatanku dengannya. Aku wanita, dia pria. Aku gadis, ia masih sendiri. Parasku elok, beliau pun tampan. Walau sebagian besar orang——tergolong saya——menyampaikan bahwa anggun dan ganteng ialah hal yang relatif. Sebagai perempuan saya sungguh merasa tenteram sekali kalau mendapatkan suatu perhatian dari seorang laki-laki. Mungkin tidak dapat dielakkan lagi jikalau rasa itu sudah menyepuh hatiku yang selama ini sepi menyendiri.
Dia sering mengajakku mendatangi galeri pribadinya. Ternyata karya-karyanya sudah terlalu banyak. Setiap aku mengajukan pertanyaan perihal lukisannya, ia menerangkan dengan detail proses inovatif dari lukisan tersebut. Dia memang sering melukis sebuah wajah. Dari pengakuannya, beliau senantiasa melukis paras dengan kombinasi latar dan bentuk yang absurd. Lukisan muka ialah hasil dari khayalan liarnya. Ia sendiri tak mengetahui setiap paras yang ia lukis. “Semua serba absurd” katanya. Dia sendiri resah, kenapa beliau sering melukis wajah-muka yang tak pernah beliau lihat dan tak dia kenal. Namun sehabis melukis, ia mengaku merasakan suatu sensasi kepuasan yang luar biasa.
Kita sering bersama, bercanda, bertukar pikiran atau sekedar duduk berdua diam tanpa bicara. Aku pun sering menungguinya untuk menuntaskan sebuah lukisan. Dia pun makin sering melukis tampang-muka yang tak dikenalnya. Wajah dengan latar dan perpaduan warna yang abstrak, namun ada simponi dan keeksotisan di sana.
Setelah saya amati secara teliti. Ternyata lukisan-lukisannya sekarang tampak adanya sebuah kekuatan atau barangkali ruh dari lukisan tersebut semakin hidup. Aku pun heran, setiap kali ia melukis tampang, beliau senantiasa membuat paras dalam lukisannya itu seolah-olah tersenyum. Dan saya pun begitu mengenal senyum itu. Setiap kali ku tanyakan mengapa lukisan wajah yang dibuatnya selalu tersenyum, dia cuma menyampaikan tidak tahu. Sungguh aku tak yakin, dalam hati ini berkata bahwa senyum itu mirip senyum yang senantiasa saya lihat dikala saya bercermin sendiri. Senyum itu mirip senyumku. Mungkin saja dengan kepekaan jiwanya selaku pelukis, nalurinya menuntun ke sebuah rasa dalam hatiku dan terejawantahkan menjadi suatu senyuman yang terlukis dalam kanvas putih tersebut.
Dia memang pelukis yang ajaib. Setelah menyelesaikan puluhan lukisan wajah dengan latar yang absurb, dia baru menyadari bahwa senyum dari tampang yang dilukisnya seperti sekali dengan senyumku.
“Itu mirip senyummu” katanya.
Aku pun tersenyum simpul dan agak tersipu dengan pengakuannya tersebut. Aku percaya hanya suatu rasa yang mampu menuntun jari dan tangannya untuk menggoreskan setiap cat minyak dalam kanvas dan membentuk suatu senyum yang indah. Dan senyum itu yakni senyumku. Narsis sekali mungkin, namun sebuah doktrin hati adalah bunyi yang takkan pernah membelokkan arah. Singkat kata aku mampu menyimpulkan bahwa ia niscaya mencicipi suatu rasa yang serupa dengan yang aku rasakan dikala ini. Rasa yang senantiasa ingin berada di sampingnya dan mencurahkan segala rasa padanya. Seperti itukah cinta?
Dia kian bersahabat denganku, mirip rasa itu yang kian bersahabat dan lekat ke dalam lubuk hatiku. Aku merasa menjadi sebuah ekspresi dominan kemarau yang selalu menanti hadirnya hujan untuk meniadakan dahagaku. Cukup hiperbolis analogiku tadi, tetapi itulah yang dapat aku gambarkan dari suatu impian agar beliau secepatnya mengetuk pintu hatiku dan saya akan mempersilakan dia masuk dengan bahagia hati. Sebuah angan yang tepat bila itu menjadi suatu realita.
Akhirnya teka-teki waktu itu pun terjawab. Ketika itu kita berdua menikmati sajian makan malam di suatu kafe. Bagiku malam itu sangat romantis dengan alunan musik jazz yang lembut dan dua lilin kecil yang tak menyilaukan mata. Setelah menyantap makanan, dia menatap aku dalam-dalam. Matanya begitu damai, mirip oase di tengah padang tandus. Dengan lembut ia menjangkau tanganku dan mengecupnya lirih.
Dia pun berkata ”Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku, maukah kau menjadi isteriku?”
Dalam hatiku aku berkata ”Begitu lama aku menunggu kata-kata itu, sebuah rasa yang menyakitkan bagiku untuk senantiasa memendam rasa itu di dalam hati, tetapi karenanya kau mengetuk pintu itu. Terima kasih cinta”
Aku tak mampu berkata apa-apa. Aku hanya tersenyum kecil sembari menitikkan air mata senang dan tipis menganggukkan kepalaku menjawab pinangannya tersebut.
“Aku akan memberimu sebuah hadiah yang terindah” katanya lembut.

***
Pernikahan itu terjadi tiga bulan kemudian. Sungguh sebuah hal yang sungguh membahagiakan bagiku. Duduk dengannya dalam suatu pelaminan. Mengikat komitmen setia dengan simbol dua buah cincin yang melingkar cantik di kedua jari elok kita.
Dia memang memberiku hadiah terindah. Sebuah lukisan, sepertinya lukisan wajahku sendiri. Dan yang paling menarik ialah senyum dalam lukisan itu adalah ejawantah dari senyumku sendiri. Senyum paling indah yang pernah ku lihat, bahkan saya belum pernah melihat senyum indah itu dalam cermin ketika aku bercermin sendiri. Narsis sekali pikirku sambil menyaksikan lukisan itu. Dan setelah itu kecupan lembut mendarat di keningku. Hangat bahagia kurasakan.
Setelah dua tahun menikah, kita belum dikarunia momongan. Aku masih melakukan pekerjaan sebagai awak redaksi majalah. Dia pun tetap menjadi pelukis, namun ia juga dipercaya orang tuanya untuk mengurus bisnis properti yang kini sedang melaju pesat. Dengan kegiatan masing-masing, kita sering tak mampu menertibkan waktu untuk sekedar ngobrol atau pun menikmati makan malam yang romantis. Ketika beliau sedang memiliki waktu luang, saya sering masih sibuk dengan pekerjaanku. Dia pasti mengisi waktu luangnya dengan melukis. Begitu pun sebaliknya, ketika aku punya waktu luang, ganti ia yang sibuk. Semakin usang hubunganku pun tidak semesra dahulu. Aku takut kalau sesuatu yang tak ku harapkan itu terjadi.
Sebagai isteri saya juga merasa mempunyai kelemahan. Aku terlalu konsentrasi pada pekerjaan dan tidak terpelajar memasak. Padahal suami akan merasa bahagia kalau istrinya arif menciptakan kuliner yang yummy. Setiap sarapan cuma ada roti, selai dan segelas susu. Begitu pula kalau makan malam, aku cuma mampu memesan atau kita berdua keluar makan di luar. Tampaknya aku harus belajar memasak. Namun untuk kursus memasak di luar, waktuku tak cukup. Ku putuskan untuk minta santunan kepada Eri sahabatku yang juga awak redaksi di kantorku.
Eri memang pandai mengolah makanan. Setiap pulang kantor lebih awal, maka ku minta beliau tiba ke tempat tinggal untuk mengajariku memasak. Untung beliau masih single, sehingga punya banyak waktu luang. Kita sering pulang petang, otomatis setiap ia mengajariku mengolah masakan, pasti kuliner itu yakni sajian makan malam untukku dan suamiku. Tak jarang pula, Eri ikut makan malam bareng kami.
Usahaku untuk lebih memanjakan suami ternyata kurang berlangsung sesuai rencana. Entah mengapa ia malah menjadi makin cuek padaku. Aku bingung dan sedih. Terkadang air mata ini pun keluar dengan perlahan membasahi halus pipiku. Aku sering kali cemburu, ketika suamiku itu memuji Eri ketika saya berguru masak bersamanya di dapur. Namun aku tak boleh berpikiran yang macam-macam. Eri sahabatku dan aku sangat yakin pada suamiku. Memang banyak seniman yang terkesan playboy, kadang suka serong, tetapi aku tak mampu melihat sifat itu pada suamiku yang aku sebut pelukis abnormal itu.
Aku makin takut. Sebuah tanda ketakutan itu muncul. Dia masih sering melukis muka. Tapi lukisan paras itu kini berganti, tak ada senyum dalam lukisan itu. Apakah rasa itu memudar? Aku kian cemas. Takut.
Pada suatu hari saya melihatnya sedang melukis sendirian di galeri pribadinya. Mungkin dia terlalu fokus pada lukisannya sampai tak tahu jikalau aku datang dan berada di belakangnya. Aku mengamati lukisan yang dibuatnya. Sungguh indah, sebuah tampang dengan latar belakang dan warna absurd. Dan saya berbagi senyum kecil, beliau memoles lukisan itu dengan senyum. Aku berpikir, rasa itu pasti akan kembali. Aku merasakan hawa senang pada tubuhku. Setelah lukisan itu akhir, ia menaruh kuasnya.dan tetap fokus menatap lukisan itu.
Namun setelah usang ku amati, ada yang ajaib dalam lukisan wajah yang tersenyum itu. Wajah dalam lukisan itu memang tersenyum. Tapi itu tak seperti dengan senyumku. Aku kembali dicekam rasa khawatir. Wajahku mengkerut berpikir siapakah pemilik senyum itu. Aku lebih dekat menatap lukisan itu. Ia masih tak sadar ada saya di sisinya. Aku kian dalam memandang senyum di paras lukisan itu. Rasanya saya kenal dengan senyum itu. Tidak asing bagiku senyum yang terlukis dengan latar abstrak itu. Aku menitikkan air mata. Lirih saya berucap
“Oh..Eri, sahabatku”

Solo, 26 September 2008
gambar dari: www.irozie.com