Sunday, 10 October 2021

Penghuni Baru

“Mumet aku buk!!”
Pagi itu Pak Said mengeluh pada istrinya. Sudah usang ia tidak menerima duit hasil kontrakan rumah. Rumah kontrakannya tidak laris. Setidak-tidaknyajika rumah kontrakan itu ada yang mengontrak, uang kontrakan bisa menambah pemasukkan keluarga. Apalagi Atik—anak bungsu Pak Said—sudah kuliah dan masuk sekolah tinggi tinggi yang bersatatus swasta. Tentunya pengeluaran keluarga akan kian membesar.
Tidak hanya itu, perjuangan Pak Said sebagai pemilik toko mebel pun selesai-simpulan ini sedang mlempem. Penjualan barang-barang furniturdi tokonya turun drastis.
“Mungkin ini imbas dari melambungnya harga BBM dan menurunnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar. Oleh sebab itu barang-barang impor merajai pasar-pasar Indonesia” kata Pak Said seperti ekonom menjelaskan alasannya tokonya sepi terhadap istrinya. Istrinya cuma manggut-manggut tanda oke atau mungkin pura-pura oke sebab kurang begitu paham perihal ekonomi. Memang Pak Said penduduknya mampu dibilang sok tau, bahkan dahulu Sekolah Dasar-nya saja tidak lulus.
“Pak…minta duit saku komplemen, di kampus banyak tugas…!” teriakan Atik kian membuat Pak Said semakin meradang.
Rumah kontrakan itu tepat berada di samping rumah Pak Said. Tak seberapa besar,cuma berisikan satu ruang tamu, dua kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Di depan teras rumah kontrakan itu terdapat sebuah plakat yang sudah usang bertuliskan “Rumah Dikontrakkan”.
Ketika Pak Said sedang bersiap-siap berangkat ke toko. Ada seorang pemuda yang terlihat mondar-mandir di depan rumahnya. Pak Said menghampirinya.
“Ada keperluan apa mas? Mungkin ada yang mampu saya bantu?” tanya Pak Said.
“Rumah ini dikontrakkan ya Pak?”
“Benar Mas!”
“Bapak pemilik kontrakan ini?”
“Iya benar, murah lho Mas” Pak Said menjajal promosi.
Pak Said menunda kepergiannya ke toko, toh telah ada Rujid yang mau membuka dan sekaligus mempertahankan tokonya. Ia mempersilahkan cowok tadi duduk di beranda rumah dan mengundang istrinya untuk menciptakan minuman.
“Perkenalkan nama aku Haris, aku mahasiswa yang sedang menyelenggarakan observasi di tempat ini dan saya perlu kontrakan atau sekedar kos untuk tempat bermalam”
“Oh jadi begitu, ngontrak di sini saja Mas, dijamin nyaman, aman dan murah”
“Tapi nampaknya masih kotor Pak?”
“Itu mampu dikelola Mas, nanti saya suruh orang untuk membersihkan sekaligus merapikannya”
Dengan proses perundingan yang tak begitu rumit, jadinya diperoleh janji bahwa perjaka itu akan mengontrak rumah itu selama setengah tahun dengan uang paras lima puluh persen dan sisanya akan dibayar tiga bulan sesudah menempati kontrakan tersebut.
Pak Said menghela napas lega. Sudah ada sedikit pemasukan untuk ekonomi keluarganya. Keluh kesah terhadap istrinya tadi pagi sekarang berubah menjadi senyum lebar.
Hari selanjutnya, Haris telah menempati rumah kontrakan itu. Ia cuma tinggal sendiri. Ia cukup ramah dengan warga sekitar dan keluarga Pak Said. Setiap hari dia pergi dari pagi sampai sore bahkan seringkali hingga malam.
Malam itu Haris pulang jam sebelas malam dan bertemu Pak Said yang gres pulang dari kenduren.
“Baru pulang Mas Haris?”
“Neliti apa to mas? Kok perginya dari pagi sampai malam?” Pak Said pensaran dengan acara Haris.
“Saya mahasiswa sosiologi Pak, jadi aku meneliti struktur sosiologis dari banyak sekali lapisan masyarakat dari strata yang terendah sampai yang paling atas”
“Pantas saja, neliti begituan pasti memakan banyak waktu” timpal Pak Said polos dan sok tau.
Aktivitas Haris semakin hari semakin sibuk dan tampakkian asing. Waktu itu Haris pulang malam dengan menenteng tas ransel besar.Ia disapa Pak Said,tetapi dia menjawab dengan tergesa-gesa. Paginya beliau membawa tas ransel besar itu lagi dan bertemu lagi dengan Pak Said.
“Mas Haris bawa apa? kok sepertinya berat sekali?”
“Ini alat-alat praktik di lapangan Pak, observasi juga butuh alat-alat praktik” jawab Haris ramahnamun agak tergesa-gesa.
“Ooooo…” mulut Pak Said polos.
Atik yang mendengar percakapan itu dari beranda rumah merasa gila. Dari hatinya timbul pertanyaan “Masak anak sosiologi memakai alat-alat praktik lapangan?” Tapi beliau tak ambil sakit kepala, toh ia juga tak begitu tahu ilmu-ilmu sosiologi dan bentuk-bentuk persoalan yang dipelajarinya. Siapa tahu memang benar apa yang dikatakan Haris tadi.
Namun beberapa minggu terakhir ini, Haris jarang terlihat pulang ke rumah kontrakannya. Ia juga tidak pamit dengan Pak Said jika beliau akan pergi lama. Pak Said juga tidak banyak ambil pusing. Itu sudah jadi hak Haris selaku penghuni kontrakan.
Suatu hari Haris pulang ke kontrakan. Ia bertemu dengan istri pak Said dan bilang kalau selama ini beliau pergi ke rumahnya yang ada di Jombang untuk sebuah kebutuhan.
Suatu malam terdengar suara ledakan kecil dari dalam kontrakan Haris. Pak Said kaget langsung menuju ke tempat tinggal kontrakannya tersebut.
Dari luar beliau berteriak “Ada apa Mas?”
“Tidak ada apa-apa Pak, radio saya njebluk kabelnya konslet.”
“Ohh..namun njenengan ndak kenapa-kenapa to?”
“Baik-baik saja Pak”
“Ooo ya sudah…”
Malam itu sehabis terjadi ledakan kecil, Haris pergi pagi-pagi buta dengan menjinjing tas ransel yang besar dan terisi sarat . Entah apa isi dari tas ransel tersebut. Hanya saja saat hari telah siang. Rumah kontrakan Pak Said di kunjungi rombongan kendaraan beroda empat polisi. Polisi mengepung rumah kontrakan itu. Pak Said yang tidak pergi ke toko hari itu kaget dan bingung dengan apa yang terjadi.
Polisi pun menggrebek rumah kontrakan yang tak berpenghuni itu. Di dalamnya ditemukan puluhan abu potasium dan beberapa bom setengah jadi. Pak Said dan Istrinya lemas menyaksikan semua itu. Setelah itu salah satu polisi menemui mereka dan berkata “Bapak dan Ibu silakan ikut kami ke kantor polisi guna penyelidikan kasus teroris ini”. Seketika mereka pingsan di tempat.

Andi Dwi Handoko
Mahasiswa Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS Solo.
No Hp: 085642035330