Saturday, 9 October 2021

Membunuh Waktu

 maka tak sedikit orang yang akan mengulangnya kembali Membunuh Waktu
Jika waktu memang benar-benar mampu diputar, maka tak sedikit orang yang mau mengulangnya kembali. Membenahi kesalahan-kesalahannya atau akan menghilangkan jejak kurun lalu dan lalu mencoba kembali ke periode depan yang lebih cerah. Tak cuma itu, orang-orang yang telah kembali ke periode depan akan menjadi sesosok manusia berjiwa baru tanpa era lalu. Seolah-olah seluruhnya terkena amnesia waktu.
Sesosok badan kurus bermuka tirus itu terus mendendangkan lantunan kemarahan. Dia memandang pada waktu yang berada di belakangnya. Bisikan-bisikan iblis telah mengaliri seluruh darah melewati denyut nadinya. Terpompa oleh jantung yang hitam dan hasilnya menyeruak ke setiap partikel-partikel tubuhnya yang paling halus.
“Apa yang akan kamu lakukan padaku” waktu membisikkan kata padanya.
“Aku akan membunuhmu” jawabnya lantang penuh emosi.
“Untuk apa kau lakukan itu? Semua akan sia-sia, dan kamu masih akan tetap di sini, di ujung usia yang senantiasa mengikutimu”
“Setidaknya saya akan hening setelah membunuhmu. Dan kamu takkan mengikutiku lagi dari belakang. Kau memang pengecut. Pecundang!!”
“Kau yang pengecut! kenapa kamu tidak terima garis nasibmu? Aku hanya mengiringi jalanmu. Aku tak memilih nasibmu dan kamu tak berhak menyalahkan aku. Kau sebaiknya tegar dan tetap pada langkah-langkahmu. Jika kamu membunuhku berarti kau membunuh dirimu sendiri ”
“Brengsek……!!!” Dengan sekuat tenaga dia mengarahkan belati tepat pada jantung sang waktu.
Jeritan panjang pun mengiringi peristiwa itu. Tak ketinggalan juga, bunyi gagak-gagak liar telah mengalun di udara dan membumbung tinggi ke atas cakrawala. Namun semua tidak berlangsung sesuai apa yang dia kehendaki.
“Apa yang kau lakukan Sasti” seorang kakek berjubah putih menahan tangan Sasti yang sudah terkekang oleh suatu emosi yang menggebu.
“Siapa kamu?”
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Aku hanyalah bagian dari hidupmu yang tertunda. Semua belum selesai. Jika kamu menuntaskan semua dongeng hidupmu di sini maka aku takkan ada di sampingmu kelak. Semua yang sudah tercerai berai ke dalam sebuah garis waktu akan menyatu ke dalam suatu kehidupan yang sarat makna” kakek itu mulai memperpanjang perkataannya.
Tak cuma itu, kakek itu terus memperlihatkan anjuran bagi jiwa Sasti yang rentan terbungkus emosi. Sasti lalu cuma membisu dengan getaran kecil pada tubuhnya. Tubuhnya ingin berontak, tetapi mirip ada sesuatu yang menahan jiwanya untuk tetap diam dan menyimak semua petuah kakek tersebut.
Semua yang terjadi pada Sasti sebetulnya tak sebaiknya di sesali hingga menumbuhkan perasaan benci terhadap kala kemudian. Di antara damai malam itu. Sasti duduk terpaku berteman angin malam. Emosinya bertahap sudah mereda berkat petuah-petuah dari kakek itu yang entah berasal dari mana. Tiba-tiba ia muncul bagaikan malaikat. Dan juga sekarang entah ke mana kakek itu pergi. Dia seperti hilang terbawa angin malam yang pekat. Ataupun memang dia yaitu sungguh-sungguh malaikat yang di utus oleh Tuhan untuk menyadarkan Sasti. Sasti tak begitu mempersoalkan hal itu. Ia cuma merenungi kata-kata kakek tadi.
Setiap untaian kata yang diucapkan oleh kakek tadi terasa begitu membunuh semua emosi dalam badan Sasti. Sejenak kata dari kakek itu seperti tetes embun di kurun pagi. Yang Sasti pertimbangkan yaitu kata kakek yang menyatakan ia ialah bab dari hidupnya yang tertunda. Serangkaian kata yang membentuk kalimat itu terlalu pelik untuk diketahui. Pikiran Sasti tak bisa mengejawantahkan kalimat itu. Semua yang ada di dalam benak Sasti cuma menghasilkan suatu dongeng yang menggantung dan bermetamorfosis lukisan yang penuh kekhawatiran.
Dan malam pun semakin bertambah malam. Pikiran Sasti sekarat dengan masalah yang menghinggapinya. Entah sampai kapan dia akan terus meratapi keadaan yang menimpanya. Kata-kata dari kakek berjubah yang berjumpa dengannya tadi seakan-akan hanya mimpi belaka. Ia mulai lagi terhanyut pada suatu angan kelam yang hitam. Ia merasakan angin mirip bisikan setan untuk secepatnya menghempaskan ke dalam waktu yang terus menyiksanya di dunia ini. Terlebih ia cuma sendirian di ruang itu. Sebuah bilik kamar yang sempit dan cuma terhiasi perabot-perabot lusuh yang mulai berselimut bubuk. Ia cuma berteman waktu. Terlantar di tengah deras badai kehidupan. Badai yang meluluhlantahkan singgasana kehidupannya.
Ia kemudian mencoba mengetahui, untuk apa ia hidup di dunia ini. Semua yang berada di tubuhnya hanyalah kotoran saja. Najis, barang kali itulah yang ada di otaknya selama ini. Ia merasa dirinya tak ubahnya sampah yang ibarat najis bagi orang-orang di sekitarnya.
Ia teringat awal awalnya kehancuran dirinya dalam menjalani hidup ini. Sebenarnya dia enggan sekali untuk membayangkan dan menceritakan semua tentang kurun lalunya pada kesunyian. Namun tak tahu kenapa ia justru ingin mengingatnya. Semakin ia menjajal melupakan, bayangan itu kian terulang dan menjadi semacam slow motion dalam angannya.
Ia mirip menenggak arak langsung dari dalam botol. Terasa sekali arak itu mengkremasi kerongkongannya, tetapi beliau tetap bersikeras untuk meminumnya. Semakin dia banyak minum, kian bernafsu pula untuk menenggak lebih banyak lagi dan akan makin memperabukan saraf-saraf di seluruh tubuhnya. Begitu pun juga dengan waktu yang sudah menyempurnakan bayangannya untuk menjelajahi periode lalu yang kelam. Masa kemudian yang sesungguhnya tidak diinginkannya sama sekali. Ia terus menyalahkan waktu di belakangnya.
Lamunan Sasti menengok waktu di belakangnya. Ia melihat dirinya berada pada sebuah emperan toko yang sudah melenggang sepi karena malam sudah larut. Tak ada kegaduhan di sana . Hanya ada suara-suara gerimis bersahutan. Rasanya gerimis malam itu akan lama untuk reda.
Sasti menyesal mengapa beliau tadi harus lembur di kantor untuk menuntaskan peran tadi siang yang belum selesai. Sebenarnya tugas itu akan diselesaikannya besok pagi, tetapi atasannya menyuruhnya untuk menemani rapat besok pagi. Maka dengan terpaksa beliau melembur tugas itu karena besok pagi tugas itu harus dilaporkan.
Malam kian larut. Sudah tidak ada transportasi lazim yang melintas tempat tersebut. Sasti menanti taksi tetapi tak kunjung datang. Ingin menelpon layanan taksi, namun handphone-nya mati kehabisan daya battery.
“Sungguh sial” makinya dalam hati.
Ia cuma berjalan menulusuri emperan toko yang telah tutup. Ia hanya berharap ada taksi lewat atau ada tukang ojek yang dapat dia sewa untuk mengantarnya hingga ke rumahnya yang masih sekitar tiga kilo meter dari tempatnya berada. Ia tak bisa membayangkan bagaimana seandainya beliau harus pulang ke rumah dengan jalan kaki. Bahkan kini rasa letih dan kantuk telah merajam seluruh tubuhnya.
Rasa-rasanya ia tidak kuat untuk berjalan lagi. Maka di suatu depan toko yang tutup, ia menyandarkan tubuhnya dan masih berharap ada kendaraan biasa yang melintas di jalan yang lenggang itu. Matanya semakin sayu beriring suara gemericik tetes gerimis. Dia pelan hendak memejamkan matanya, tetapi beliau urung melakukannya alasannya di depannya telah berdiri tiga sosok bayangan yang hitam. Ia mulai membuka matanya dengan segera. Badannya berjingkrak terkejut alasannya sosok bayangan di depannya ternyata yaitu tiga laki-laki dengan badan kekar dan terkesan kumal. Ketiga lelaki itu mendekap dirinya yang telah lemah terajam oleh letih yang mendera.
Setelah itu Sasti tidak tahu apa yang terjadi. Ia tak sadar dengan semua yang sudah terjadi. Ia hanya ingat ketika tersadarkan oleh pagi dengan sinar mentari membuka matanya yang terlelap dalam alam bawah sadar. Ia sungguh terkejut. Sekumpulan orang mengelilinginya bahkan di antaranya dengan rona yang terlukis kata jijik. Sasti pun merasa jijik dengan keadaan tubuhnya. Tubuhnya hampir bugil dengan pakaian yang teroyak-koyak. Ia merasa ada yang terasa sakit di darah selangkangannya. Sasti menjerit histeris dan berlari gontai menjauh. Jauh dan jauh. Hingga waktu pun menertawakannya.
Sasti kembali ke dalam sebuah waktu yang ada di depannya. Ia menyaksikan cerita hidupnya terlihat kontras di setiap penggalan waktu yang mengikutinya. Ia menghela napas. Terasa sesak napasnya untuk keluar dari rongga paru-paru melalui tenggorokannya. Seperti ada yang mengganjal dalam sistem pernapasannya yang menjadikannya semakin kacau kembali. Ia mirip kerasukan sebuah bayangan yang mirip lukisan masa lalu. Lukisan itu bergerak-gerak di dalam setiap ruang kosong dalam tubuhnya. Mulai dari urat-urat yang paling kecil, otot-otot, jaringan darah dan bahkan sampai organ-organ penting mirip otak, jantung, paru-paru dan berbagai organ yang lain.
Sasti mengerang-erang kesakitan. Raga dan jiwanya mirip tertusuk-tusuk duri yang tajam. Duri-duri dari masa lalu yang kejam. Emosinya mulai meledak lagi. Tak ada di pikirannya kata–kata dari kakek tadi. Yang ada cuma suatu kabut tebal di depan kelopak matanya dan menutupi setiap jengkal nalar sehatnya.
Sasti memandang waktu yang telah menyatu dengan dirinya. Ia membelalakkan mata menandakan kemarahannya kembali pada waktu di dalam tubuhnya. Setengah sadarnya mulai tak melakukan pekerjaan . Ia bangkit membelakangi waktu. Di lemparnya kuat kursi yang ada di depannya ke belakang tubuhnya.
Suara kaca pecah. Gemuruh angin malam. Tak ada sinar rembulan. Semua tertutup awan yang makin memekatkan malam. Tampak malam itu sekarat bagi serangga-serangga malam yang lazimnya bersenandung mesra. Sedangkan Sasti berganti bersenandung lagu kengerian. Lagu meratap malam yang sekarat.
Dingin malam tak mampu meredam gemuruh di seluruh tubuhnya. Ia semakin benci pada tubuhnya yang sekarang menyatu dengan waktu. Waktu yang telah membelakanginya. Semakin dalam ia membelalakkan matanya pada paras sang waktu. Ia menggeliat sarat dengan kekuatan. Seakan tenaganya ia kerahkan semua untuk menandingi pergumulan waktu di dalam tubuhnya.
Sasti menjerit keras. Jeritannya sekarang melengking sampai menembus cakrawala di ujung batas surga. Pesona wajah ayunya sekarang berubah mirip iblis bagi dirinya sendiri. Diraihnya belati mengkilat di sudut meja. Tampak sekali wajahnya menyemburatkan senyum kemenangan. Kini dia pasti mampu membunuh waktu. Waktu yang sudah meneggelamkan semua asanya, semua jerih payahnya. Ia telah memegang belati yang mengkilat itu tepat di tangan kanannya. Waktu tenggelam sempurna dalam raut kesedihan. Sasti mengacungkan belatinya sempurna pada jantung sang waktu. Dengan pekikan suara yang sangat keras menyayat malam, beliau sekuat tenaga menghujamkannya tepat pada jantung sang waktu.
Semua orang di sudut kota terbangun dari lelap tidurnya. Mereka mendengar pekikan keras yang sangat tidak tenteram sekali di dengarkan. Apalagi suara itu keluar di malam yang hampir menjemput fajar. Kemudian orang-orang heboh dengan gemuruh bunyi yang membumbung tinggi bergerak di angkasa. Suara pekikan gagak dan kepakan sayapnya sudah menyelimuti kota dengan aura kepedihan. Semua orang menggigil takut. Namun beberapa golongan orang dengan berani dan rasa ingin tahunya mengikuti arah ke mana gagak itu pergi. Dan iringan gagak tetap bergerak di suatu tempat, namun dengan gerakan yang memutar sambil terus menyanyikan irama pekikan keras menyayat hati.
Gagak-gagak itu memutari sebuah rumah yang kecil. Tampak dari luar suatu ruangan yang diterangi sebuah lampu yang cahayanya remang. Orang-orang memasuki rumah itu dan menuju ruang yang remang dengan perasaan yang was-was. Mata orang-orang itu pun membelalak terkejut mengetahui apa yang ada di ruang tu. Seorang wanita muda bersimbah darah dengan belati menancap di dada kirinya. Tak hanya itu saja, tubuhnya membiru bau tanah dan matanya memerah darah. Lebih mengerikan lagi lidahnya menjulur keluar. Telinga dan mulutnya pun keluar darah yang menghitam.
Selintas di luar jendela berkaca pecah, tampakseorang kakek berjubah putih menangis air mata darah.
Andi D Handoko
Surakarta, 18 Februari 2008

gambar dari: de-enjel.blogspot.com