Thursday, 30 September 2021

Kampanye Kampus

oleh: Andi Dwi Handoko*
Di tengah-tengah meriah kampanye Pemilu 2009, agaknya di dalam dunia pendidikan pun juga mulai panas dengan kampanye kampus. Perguruan Tinggi Negeri dan PTS mulai “berperang” melaksanakan aksi kampanye untuk mencoba mendapatkan calon mahasiswa baru. Napas PTS kian terengah-engah untuk dapat berkompetisi dengan Perguruan Tinggi Negeri alasannya kini Perguruan Tinggi Negeri mampu mencoba mendapatkan calon mahasiswa gres dengan cara yang sama dengan PTS. Hal ini merupakan dampak dari disahkannya UU (Badan Hukum Pendidikan) BHP yang memiliki esensi untuk melaksanakan otonomi sekolah tinggi tinggi. PTS pun mulai memakai teknik gres dalam mencoba mendapatkan calon mahasiswa, salah satunya dengan menyelenggarakan Ujian Masuk Bersama (UMB).
Otonomi ini memberi fleksibilitas bagi sekolah tinggi tinggi untuk mengelola, membuatkan dan mencari sumber dana operasional pendidikan secara mampu berdiri diatas kaki sendiri. Persaingan pun semakin bertambah panas dikala pasar bebas mulai merebak ke dalam dunia pendidikan. Investor aneh gencar menanam investasi untuk pendidikan Indonesia. Bukan tak mungkin kalau perguruan tinggi milik asing dapat menjadi anggota gres dalam bursa kampanye kampus.

Kredibilitas Perguruan Tinggi

Calon mahasiswa baru makin diberi pilihan yang gampang untuk menentukan akademi tinggi yang mau mereka masuki dengan catatan mereka yakni calon mahasiswa yang berkantong tebal. Otonomi memberi fasilitas perguruan tinggi tinggi untuk menaikan tarif bagi calon mahasiswa, tergolong Perguruan Tinggi Negeri. Otonomi kampus dinilai dari berbagai golongan mampu mengakibatkan komersialisasi pendidikan. Marjinalisasi pendidikan pun kesannya timbul. Hanya orang yang berduit yang boleh merasakan kuliah, entah itu berilmu atau kolot.
Untuk menangkal terjadinya marjinalisasi pendidikan maka diperlukan kredibilitas sekolah tinggi tinggi, utamanya PTN. Selama ini PTN mendapat subsidi dari pemerintah dan menjadi idam-idaman bagi masyarakat alasannya adalah PTN murah dan menunjukkan kemudahan yang baik. Setelah disahkannya UU BHP sebaiknya PTN bisa menjaga kualitasnya untuk tidak memarjinalkan pendidikan dengan banyak menampung mahasiswa tanpa memandang mutu mahasiswa tersebut. Penyeleksian untuk masuk ke perguruan tinggi tinggi harus tetap mengindahkan kriteria sekurang-kurangnyamasuk sekolah tinggi tinggi bahkan jikalau mampu lebih mengembangkan patokan tersebut. UU BHP bukan harus didefinisikan sebagai otonomi yang mutlak, tetapi mesti dilihat dari banyak sekali segi, salah satunya dari segi fungsi untuk mengembangkan kualitas pendidikan.

*Andi Dwi Handoko, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS Solo.