Aku mengukir tempias hujan di lantai beranda rumah. Meletakkan kata-kata beku dan mengejanya menjadi sebait sajak rindu. Sepuluh tahun sudah berlalu, tetapi bayangnya tetap tidak ingin berlalu dari kalbu. Seakan dia sudah membeku menyanggupi urat-urat nadiku.
Mungkin saja mereka tak mengerti, perempuan bermata senja yang pernah mendekapku adalah sesosok bayang kekal dalam dongeng hidup nyataku. Aku ingin memeluknya lagi lebih erat dan hangat kudapat. Menceritakan kembali dongeng-kisah malam yang pernah terlantun dari senyum manisnya. Menidurkanku dalam lelap hangat. Seperti halnya melodi-melodi mozart, begitu pelan menjamah buliran rasa. Dan hasilnya mimpi-mimpi malam bergelanyut indah memeluk tidurku.
bulan ampunan tiba lagi. Sepuluh tahun, sepuluh ramadan tak ada belaian lembutnya di sisiku lagi. Tak ada suara berisik dalam dapur yang membangunkan sahurku. Tak ada lagi opor ayam yummy sajian buka dari tangannya. Ia beranjak pergi menyudahi kembara hidup dunia fana. Tidur lelap begitu usang. Membaurkan semerbak wangi tanah yang menutupinya.
Maka kusinggahi rumahnya kini. Teronggok kaku dengan batu nisan menghiasi. Semerbak kamboja mengingatkanku pada bunyi tangisku yang tak rela melepaskannya. Rumput-rumput menutupi tanah merah kecoklatan. Dan kurapikan dengan mencabuti rumput yang berkembang dengan liar. Lalu kueja kata demi kata. Meluapkan rasa rinduku padanya. Biarkan saya berkontemplasi dengan ruang dan waktu yang tak dapat kutembus, alasannya adalah cuma dengan begitu, aku mampu mendapatan sebuah ketenangan dan suatu ingatan.
Kata-kataku mungkin tak dapat selsai, namun saya harus mengakhirinya. Kuakhiri dengan sebuah tanda koma agar nanti saya mampu bercerita kembali padanya. Cerita tentang hidup, bahagia, sedih, cinta, kecewa hingga kisah pagi yang selalu berlari mengejar-ngejar senja. Kusambung tanda koma dengan doa. Melantunkan bait-bait munajah untuknya, untukku dan siapa pun di sekitarku. Tak k lupa, menaburkan sejumlah bunga kamboja yang masih ranum ke atas gundukan tanah berumput itu dan beranjak pulang.
***
Kini dalam beranda rumahku beliau datang. Membasuh jejak-jejak lusuh di halaman rumah yang telah usang terukir berpengaruh di sana. Dia datang bersama pagi dengan sejuk embunnya. Mencoba membuat diorama pagi untuk mengisi kekosongan rumahku.
Telah cukuplah bagiku. Selalu ada jeda dalam dongeng hidup kita. bulan pahala demi ramadan sudah ku tempuh dengan sebuah kesabaran. Aku percaya beliau yang mau menggantikan wanita bermata senja itu. Selain itu bila ramadan tahun depan tiba, dan saya masih menemui bersamanya, saya yakin beliau juga yang akan membangunkanku sahur dengan bunyi berisik di dapur, membuatkanku opor ayam waktu berbuka dan menemaniku mengukir kata-kata dengan tempias hujan dalam beranda rumahku.
Tak cukup itu, beliau juga yang akan datang bersamaku membawa cerita di samping nisan wanita bermata senjaku. Menaburkan bacin mahkota bunga kamboja di atas pusara bersamaku. Dan selalu membuat tanda koma di setiap ujung kisah-kisah untuknya.. Dan aku telah cukup sampaumur. Ku tunggu waktu itu untuk tiba secepatnya. Memapahnya pulang dan menyelipkan cincin tepat di jari manisnya.
-Andi D Handoko