Monday, 11 October 2021

Bukit Sunyi

 Sepuluh tahun sudah saya tak pernah mengunjunginya lagi Bukit Sunyi
Tiba-tiba saya teringat kampung halaman. Sebuah kampung—lebih tepatnya desa—di pinggiran kabupaten Wonogiri. Sepuluh tahun telah aku tak pernah mengunjunginya lagi. Saya menjadi seorang transmigran di Jambi. Mengelola sebuah kebun kelapa sawit dari angka nol besar. Setidak-tidaknya saya berucap syukur, alasannya adalah pemerintah masih mengamati pengangguran-pengangguran desa mirip saya dengan menunjukkan modal berupa tanah untuk dikontrol menjadi sumber penghidupan.
Saya sudah rindu dengan tanah tempat badan ini dibesarkan. Rindu pada suatu bukit kecil di belakang rumah yang menyimpan sejuta pesona sampai sekarang. Dan memang bukit kecil itulah yang paling tajam menyematkan rasa rindu untuk segera pulang ke desa. Walaupun saya sudah ditinggalkan kedua orang tua aku sejak kecil, namun saya tak mampu melewatkan sanak kerabat yang turut menunjukkan doa bagi saya sehingga kini mampu hidup dengan nyaman di tanah rantau. Kadang-kadang aku mengantarkan duit terhadap adik saya yang ada di desa. Dia satu-satunya saudara kandung yang aku miliki.
Maka dengan kebulatan tekad, aku memutuskan untuk pulang ke jawa, ke suatu desa yang menyimpan sejuta kenangan kurun kecil. Dengan perjalanan yang cukup bikin capek dan berganti-ganti kendaraan, jadinya aku hingga di desa saya dan ojek adalah kendaraan terakhir yang aku tumpangi. Tampaknya telah banyak yang berganti dengan desa saya ini.
Waktu telah memberikan Jam sembilan malam. Saya tak pribadi pulang menuju rumah kawasan tinggal saya dulu. Namun menuju bukit kecil yang berada di belakang rumah sebab bukit inilah yang sudah lama aku rindukan Saya sempatkan melihat rumah saya dari jauh. Terlihat sepi dan nampak ada beberapa pergeseran.
Di bawah bukit itu aku menatap ke atas, malam itu agak terang sebab bulan separo menyembul hangat di antara beberapa awan putih yang berarak di langit. Dengan melalui jalan setapak, aku menaiki bukit itu. Tampak mengasyikkan dan menenangkan batin. Saya seperti kembali ke kurun kemudian. Hampir sebagian besar abad kecil aku, saya habiskan di bukit ini. Mulai dari bermain, merenung, melongo sendiri, menangis, menangkap burung, hingga mencari rumput untuk kuliner kambing peliharaan saya.
Terasa suatu kepuasaan sesudah mencapai puncaknya. Bintang mirip menjadi kembang-kembang di atas taman langit. Di bawah terlihat beberapa lampu jalan dan rumah yang seperti menjelma sinar bintang di atas bumi. Tampak estetis sekali.
Saya lantas teringat seorang yang berjulukan Sarasvati. Perempuan berdarah Sunda itu sangat kesengsem saat saya ceritakan kurun kecil saya di atas bukit ini. Dia ingin sekali menyaksikan bintang di atas bukit ini bersama aku sambil menikmati jagung bakar selagi hangat-hangat. Tampaknya beliau adalah perempuan yang sangat bahagia berimajinasi. Dia adalah salah satu tetangga aku di Jambi sana yang sebentar lagi mungkin akan menjadi bagian dari cinta dan kehidupan saya. Namun dikala saya memutuskan pulang ke desa aku di jawa ini, ia tak mampu ikut karena sibuk dengan perkebunannya.
Setelah melihat sekitar bukit dan pemandangannya, tampaknya ada yang kurang di antara pandangan mata aku. Hal ini berlawanan dengan kondisi dikala aku masih kecil. Malam ini tak ku jumpai seekor kunang pun. Padahal dulu, di atas bukit itu banyak kunang yang beterbangan. Seakan-akan kunang-kunang itu menjadi ribuan serdadu yang menjaga bukit dari kegelapan malam. Saya juga tak tahu mengapa kunang-kunang itu sudah tak tampaklagi di atas bukit ini. Aku merindukan kunang-kunang itu. Tanpa kunang-kunang itu seribu bunyi jangkrik yang membahana malam tampak sunyi dan seakan-akan bukit ini berubah menjadi bukit sunyi.
Malam makin malam, aku beranjak pulang. Saya ketuk pintu rumah kawasan aku dibesarkan itu. Lama sekali, sampai muncullah seorang laki-laki berambut agak ikal dan berkulit hitam. Tak lain beliau yaitu adik kandung aku satu-satunya. Pelukan hangat segera mendarat ke tubuhnya yang berkaos dan dililit sarung kumal itu.
Ketukan pintu yang saya lakukan membangunkannya dari lelap tidur. Dengan rasa kantuk yang masih tersisa, beliau sempatkan menciptakan teh hangat untuk aku. Kami sempatkan ngobrol beberapa masalah ihwal hidup kami dan keadaan desa ini. Dia katakana bahwa desa ini akan terkena proyek Jalur Lintas Selatan. Namun beliau mengatakan bahwa rumah ini tidak terkena gusuran poyek tersebut. Saya pun lega mendengarnya, alasannya adalah tanah dan rumah ini memang warisan dari orang renta yang harus dijaga. Sebetulnya duduk perkara ihwal proyek Jalur Lintas Selatan ini cukup mempesona untuk diperbincangkan, namun rasa kantuk ini sudah tak dapat aku tahan. Sebelum masuk kamar, adik saya ingin mengatakan perihal bukit di belakang rumah. Namun kantuk yang menyerang saya mengalahkan semuanya, aku mengatakan biar dibahas besok pagi saja.
Suara kokok ayam bersahutan, saya tersadar, namun setelah salat subuh rasa kantuk menyerang lagi alasannya tubuh saya memang letih sekali. Akhirnya sekitar jam sembilan pagi aku terbangun karena bunyi yang menderu-deru di belakang rumah. Saya segera ke belakang rumah untuk mengetahuinya.
Saya terbelalak terkejut . Alat-alat berat dengan gagahnya menggempur bukit itu. Suara gergaji mesin menumbangkan pohon-pohon yang sudah tumbuh puluhan tahun. Hatiku miris melihatnya. Hampir air mata ini menetes. Dan dari belakang adik aku berucap lirih
“ Ini yang ingin aku katakan tadi malam”

Gambar dari: chaliim.wordpress.com/2007/11/