Wednesday, 6 October 2021

Cerita Satu Animo

Dongeng yang hendak kuceritakan ini ialah satu fragmen yang terpenggal dari suatu ingatan dan terpecah menjadi penggalan-belahan waktu yang sulit untuk disatukan kembali. Adalah saya, satu nyawa berupa dongeng yang mengisi setiap perubahan trend. Mimpi-mimpi yang pernah kamu ciptakan sesungguhnya bermula dari suatu cerita purba. Dari sekian lamanya waktu, kisah itu melompat menembus sekat-sekat massa, menjadi bayang-bayang dan kesudahannya bermetafora menjadi mimpi-mimpi yang memabukkan di setiap pergantian animo.
Awal ekspresi dominan itu, saya sendiri dalam bayangku. Membayangkan suatu senja berada ditelapak tanganku, alasannya saya begitu menyukai senja. Apalagi saat demam isu sedang kemarau,maka senja akan terlihat jingga kemilau di ufuk barat. Aku membayangkan telapak tanganku yaitu pantai berpasir putih dengan hiasan lambaian nyiur. Namun dalam kesendirianku saya masih tetap sadar bahwa senja itu memang betul-betul ada di waktu yang mau kusinggahi nanti.
saya masih sendiri menatap senja di telapak tanganku. Aku menatap cahaya kemilau jingga. Suara gemuruh ombak bersama semilir angin menjadi suatu alunan musik yang begitu ritmis. Nyaman sekali di pendengaran. Sedangkan di atas telapak tanganku, saya menyaksikan sekawanan camar riuh mengepak-kepakkan sayap melawan angin dari tengah maritim. Kicau-kicaunya bersahutan seolah-olah mereka mengejek kesendirianku. Ah…aku tak dapat menyalahkan mereka. Sekalipun saya merasa kesepian, saya akan tetap membayangkan senja seolah-olah yaitu kekasihku, yang akan ku peluk dan ku cium mesra sepanjang saya masih mampu berimajinasi .
Pertengahan musim, aku tak mampu membayangkan senja berada di telapak tanganku. Rasa-rasanya mataku terlalu letih untuk terus melihat cahaya kemilau jingga di telapak tanganku. Maka ku hapus senja dari telapak tanganku. Hanya sebentar saja saya akan menghapus senja di telapak tanganku alasannya adalah saya begitu menyukai senja. Aku takkan mungkin jenuh untuk melihat senja. Aku menutup telapak tanganku, istirahat sebentar untuk menikmati dunia faktual yang ternyata telah terombang-ambing ke arah ketidakpastian. Aku meredupkan penglihatanku dan mencoba untuk tidur selama sepertiga ekspresi dominan.
Setelah sepertiga trend, aku terbangun dari lelap mimpiku. Aku beranjak dari kawasan tidurku dan menuju ke sebuah ruang yang dipenuhi dengan buku. Aku mengambil satu buku dan membacanya. Ternyata itu ialah sebuah buku cerita. Anehnya, buku itu seperti suatu dunia yang kasatmata. Setiap kalimat, kata, gambar dalam buku itu mampu bermetamorfosis dan bergerak sesuai dengan makna masing-masing. Dalam cerita itu ku baca dan ku lihat seorang bidadari kecil hilang dari istana. Bidadari kecil itu cantik dan cantik sekali. Ia hilang dari istana alasannya ingin melihat senja. Istana tempat dia tinggal, berada di sebuah lembah yang dalam sehingga dia tak bisa melihat senja. Ia ingin melihat senja alasannya beliau berkhayal menyaksikan senja. Kata ‘senja’ dia dapatkan dari dayangnya yang juga pernah melihat senja. Jauh waktu sebelum dayang itu bekerja di istananya, beliau yaitu insan biasa yang saban hari dengan leluasa menyaksikan senja. Dengan kenekatannya, bidadari itu pergi dari istana untuk mencari dan melihat senja. entah apa yang terjadi dengan bidadari kecil itu, karena buku yang ku baca ternyata bersambung.
Akhir trend telah datang. Aku kembali merindukan senja. Aku sudah lama meniadakan senja dari telapak tanganku. Maka dengan kerinduanku, kutuangkan kembali sebuah senja ke dalam telapak tanganku. Yah…masih mirip dulu…senja itu masih begitu indah dan menenangkan. Cahaya kemilau jingganya telah menghipnotisku untuk terbang ke alam keindahan.
Dan sekarang aku makin takjub. Semakin usang senja di telapak tanganku kian indah. Dalam ketakjubanku, saya menyaksikan ada seorang bidadari kecil tengah berlari-lari berkejaran dengan ombak di sebuah senja. Di telapak tanganku.