Wednesday, 6 October 2021

Taman Kota, 06’02’09

 Mendung hitam tebal sore itu tak jadi menjatuhkan hujan lebat yang lama Taman Kota, 06’02’09
Mendung hitam tebal sore itu tak jadi menjatuhkan hujan lebat yang lama. Beberapa menit saja hujan itu turun dengan derasnya. Namun lalu menjadi pendar gerimis yang menyejukkan. Sejenak lalu hilang, hanya bekasnya sudah mengganti jalan, atap rumah, tanah terlihat berair. Namun gara-gara mendung itu saya membatalkan keinginanku untuk sekadar bengong di taman kota. Aku takut terdiam di tengah-tengah hujan. Begitu kiraku. Aku pulang ke dalam istana peristirahatanku. Motorku ku masukkan ke tempatnya. Aku melepas lelah, berbaring di kasur hangat, tetapi mata tak bisa terpejam. Hingga saya mengantar senja ke dalam lelap peraduannya. Malam.
Hingga bakda isya’ saya tak beranjak dari kamar walau malam itu langit mulai cerah. Walau mendung tipis kadang berseliweran di langit, tetapi cahaya bulan mampu menerangi malam yang mulai kelam. Cahaya bulan mirip memberi pertanyaan pada manusia yang memandangnya. Dan manusia pun cuma mampu berdecak pasrah saat tak bisa untuk menjawab pertanyaan itu.
Aku mulai jenuh dengan dinding dan langit-langit kamarku. Aku beranjak pelan, mengeluarkan motorku dan menembus malam yang menyekat kota ini. lampu-lampu jalan mirip nyala lilin yang mengawalperjalananku. Tak lupa ku sempatkan berbelanja sebungkus coklat dan sebungkus TARO (maaf bukannya promosi). dan setelah itu, cuma satu tujuan: Taman Kota, Tirtonadi.
Aku hingga di taman itu kira-kira setengah Sembilan. Menikmati kesendirian ialah tujuanku ke sana. Aku masuk ke dalam taman tersebut. Bagian barat suasananya temaram alasannya lampu tidak menyala. tampak kontras sekali dengan bagian timur, lampu taman menyala dengan jelas. Ada cewek pemuda di sela langkahku berjalan. Mereka tak terganggu dengan kehadiranku. Hingga aku datang pada sebuah bangunan yang melingkar,. Kira-kira itu yaitu bangunan untuk kolam air mancur, tetapi belum difungsikan. Aku duduk disamping utara menghadap sungai.
Tiba-tiba ada seseorang melalui di pinggirku. Ia melihat-lihat ke arahku (tapi saya gak kepikiran kalau orang itu penjambret atau penodong). Dia lalu menghampiriku dan bertanya “Gur dhewe to mas?” aku jawab “Ho oh mas, emang ngopo mas?” ia jawab “ohh..gak popo”…sepintas lalu orang itu pergi. Aku tak tau siapa orang itu. Aku kembali dalam kesendirianku.
Kurasa aku ingin jalan-jalan dulu. Aku ingin turun dulu, namun sehabis di depan tangga turun. Aku kaget. Ada dua pemuda cewek sedang duduk berpelukan dan mungkin cixx-xxxxan(sensor). Aku secepatnya balik dan mengurungkan niatku untuk jalan-jalan di sekeliling taman.Aku kembali ke tempatku semula namun agak bergeser ke barat. Dunia anak muda jaman kini memang sungguh membuat kepala geleng-geleng. Padahal secara aturan langkah-langkah mereka itu dapat dijerat dengan eksekusi pidana. Tindakan pelukan dan ciuman di kawasan umum bisa dijerat aturan dan dipenjara selama dua tahun delapan bulan (2 TAHUN 8 BULAN). Kalau tidak yakin buka saja kitab undang-undang hukum pidana bab XIV pasal 281.
Aku tak memperdulikan apa yang gres saja ku lihat. Aku tengah menikmati kesendirianku. Sendiri di taman menikmati udara malam dan gemericik suara air sungai yang beberapa hari lalu tampaknya banjir sebab di tengah kali saya lihat serumpun bambu menahan arus. Seharusnya rumpun bambu itu tidak ada di sana.
Aku mulai mengeluarkan coklatku. Aku menikmati coklat bagus sembari memandang langit yang berhias bulan yang sesekali tertutup mendung tipis. Aku lihat berulang kali pesawat dengan lampunya yang berkelip di langit sebelah barat daya. Aku rasa saya memperoleh hiburan tersendiri dengan suasana mirip ini.
Di sebelah baratku muncul lagi pemuda cewek. Mereka duduk agak erat denganku namun terhalang pohon. Aku menyaksikan ke bab timur bawah. Yah..pemuda cewek tadi kini bangkit dan terlihat olehku. Mereka berpelukkan sambil berputar-putar, mirip adegan film india. Namun itu cukup menggangguku.
Tiba-tiba aku mendengar tangis. Ternyata itu tangis dari cewek yang berada di sebelah baratku. Entah mengapa beliau menangis saya tak tahu. Sungguh kejadian yang sangat kontras. Di sebelah timurku ada sepasang manusia tertawa cecikikan dengan ulah yang mereka perbuat, sedangkan sebelah baratku ada cewek yang sedang menangis.
Aku semakin menikmati kesendirianku. Aku ambil handphoneku dan mengenakan headset. Ku putar alunan lagu dari erros dan okta, cahaya bulan ost Gie. Sungguh angat menyentuhku. Alunan lagu itu menyeretku ke dalam dunia rasa yang lain. Cahaya bulan yang remang-remang di malam itu menambah situasi menjadi hening. Apalagi diselingi puisi dari gie (Nicholas saputra) yang mennyatakan bahwa “sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemereasan sejarah tidak ada?”. Aku mengeluarkan TAROku dan menghabiskannya sendiri.
Kemudian aku pulang. bayar parkir dulu Rp. 1000,-