Friday, 8 October 2021

Cerpen Jurnalistik Segi Lain

 Dengan membawa sebuah kamera dan tas ransel yang menempel di punggung Cerpen Jurnalistik Sisi Lain
Dengan membawa suatu kamera dan tas ransel yang menempel di punggung, aku berlangsung mencari suatu gosip ihwal kehidupan. Hingga saya memperoleh suatu dunia yang dihuni banyak sekali macam manusia namun dengan keadaan yang hampir sama. Kondisi yang menawarkan ketidakberdayaan dan penderitaan. Tanpa saya sadari, saya mendengar tangisan mereka. Dan lambat laun tangisan itu menjadi lirih. Sayup terdengar isak dan hilanglah suara tangisan itu.
Mereka bergotong-royong tak berhenti menangis. Tak ada secuil kiasan yang menjadikannya berhenti menangis, Derai tangisan tak meluap dalam air mata saja, namun sudut jiwanya lebih keras mendendangkan jerit tangis. Entah berapa usang air mata itu terkuras dalam linangan pahit tetapi mereka tetap mampu untuk tersenyum bahkan tertawa dalam erangan kabut pagi.
Siang ini terasa terik saat sebuah bus kota melaju dengan meninggalkan residu di cuilan napas bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Turun merasup dan menjelajah napas yang terengah-engah. Saya berjalan di sebuah trotoar lurus tanpa penghalang. Kanan kiri ditumbuhi bunga berpot besar. Daunnya tampakkuyup sayu. Mungkin hijau klorofil telah tertutup pekat udara kota .
Saya berlangsung terus dan lurus. Sampai risikonya aku dapatkan jalan bercabang sebanyak tiga buah. Lurus, terlihat ramai kendaraan berdesak-desakkan alasannya mungkin jalan semakin sempit bagi mereka. Kanan, terlihat suatu pemukiman elit yang mungkin dapat menciptakan orang-orang biasa seperti saya dapat mengeluarkan air liur dengan sendirinya. Tanpa suatu niat dan dorongan yang jelas, saya pribadi langkahkan kaki menembus jalan ke ujung kiri. Merayap seperti cicak yang gres saja memangsa seekor capung yang masuk dalam rumah.
Terlihat mereka di sana. Di ujung jalan yang aku pilih. Mereka melantunkan nyanyian hati, tetapi ada juga yang sekedar bernyanyi menirukan irama dari sebuah radio usang. Rumah-rumah bangkit membentuk warna sintetis. Senyum manis, tawa setan, kadang tatapan asing mendarat ke arah aku. Saya terus melangkah dibarengi kepakan mata untuk menjelajah ke tempat sekitar. Mulai berkembang dalam otak saya. Inilah sarang mereka. Sarang sebagai kawasan berkumpul muka-paras lusuh, kusam, menakutkan, dan di antaranya wajah ramah tetapi sarat amarah para kaum kelas bawah.
Letih sudah kaki saya untuk berlangsung. Saya masuk ke sebuah warung. Es teh bagus disambut beberapa gorengan cukup untuk menghemat rasa lelah. Saya perhatikan penjual yang ramah melayani para pembeli. Tak berapa lama kemudian, tiba dua anak berbaju impian mendekat ke warung. Harapan kecil yang menghiasi kedua matanya. Hati aku merasa pernah menyaksikan mereka. Ya, itu mereka yang tadi tampakdi salah satu rumah di pinggir jalan kecil yang saya lalui. Sebuah lagu impian mereka nyanyikan.
Penjual warung menengok sinis. Merogoh saku roknya. Sia-sia tak didapatkan sesuatu di sana . Kemudian membuka laci yang berada di depannya. Dari sana ia mengambil sekeping uang dan diberikan kepada kedua anak itu. Tunduk terima kasih mereka haturkan. Baru aku sadari, mungkin yang diberikan penjual warung tadi belum cukup untuk membayar suatu kerupuk yang gres saja melumpur di mulut saya.
Terjerit hati ini menuntaskan akhir langkah. Lelah tak tertahan dan sudah saatnya pulang. Saya menuju rumah alasannya adalah petnag telah membayang. Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan, saya rebahkan badan di atas tempat tidur. Letih. Terlelap.
***
Pagi datang. Saya liatkan semangat untuk meneruskan perjalanan ini. Saya sembulkan langkah mulai gang pertama rumah aku. Sebuah bus berhenti alasannya adalah lambaian tangan aku. Saya naik bus untuk pergi ke kawasan kerja untuk menyerahkan hasil reportase dari aneka macam macam warna kehidupan. Masih ada cukup waktu alasannya adalah tenggat waktu masih sore nanti.
Di dalam bus, aku memilih duduk di sisi jendela menyaksikan keadaan luar. Saya melihat mereka lagi. Di sini, di sana , dan di mana-mana. Mereka begitu ulet menjalani apa yang mereka kerjakan, sampai sepagi ini mereka telah menyebar di segala daerah di kota ini. Mereka memendar mirip cahaya mentari yang menebarkan sinarnya ke bumi. Tak terasa waktu mengantarkan ke tempat tujuan. Saya pandang situasi sekitar. Ramai. Tentunya mereka yang telah menjadikannya lebih ramai dari situasi yang bahwasanya. Di perempatan jalan ujung sana mereka tampak berkeliaran. Sudut emper toko, trotoar, bahkan di depan beberapa restoran. Tak jarang pula hanya berputar dengan langkah yang terayun pelan.
Ketika saya hendak masuk ke kantor tempat saya bekerja. Dengan sebelah pandang aku melihat sebagian dari mereka lari terbirit-birit tanpa aku ketahui sebab. Ya, mereka dengan semampunya mendayagunakan tenaga yang ada untuk berlari sekencang-kencangnya. Sejurus saya pribadi memandang secara langsung kemudian mendekat untuk memotret dan mengenali apa yang sedang terjadi. Raut paras bingung dan bingung cemas terlihat dari sebagian lainnya yang kekuatan fisiknya tak mampu mengayun langkah secara cepat.
Ternyata semua itu terjadi karena ada segerombolan polisi hendak menangkapnya. Mungkin saja mereka tampak kotor sehingga mesti dibersihkan dari kota yang rencananya akan dijadikan kota terbersih. Satu per satu mereka ditangkap, diarak dan dipaksa masuk kendaraan beroda empat. Tak sedikit yang berontak sehingga gerombolan berseragam itu mesti rela menguras tenaganya untuk menjinakkannya semoga mau masuk ke dalam mobil. Saya tak melihat lagi mereka di sini. Mereka telah pergi, ada sebagian pergi entah kemana dan sebagian dibawa gerombolan berseragam tadi.
Tak ayal lagi saya tidak melanjutkan langkah kaki ke dalam kantor. Dengan menyewa tukang ojek, saya mengikuti kendaraan beroda empat. Tak berapa lama kendaraan beroda empat yang memuat mereka berhenti dihalaman kantor polisi. Segera mereka dipaksa untuk masuk ke suatu ruangan secara bersama-sama, terlihat seperti aula namun terlihat lebih sempit dengan gugusan bangku yang berjejer. Saya mengikuti mereka masuk, namun sebelumnya saya menunjukkan kartu identitas saya sebagai wartawan kepada seseorang yang berseragam coklat di depan pintu. Tampak riuh bunyi mereka mengisi ruangan tersebut. Ada yang menangis, ada yang mengumpat, tetapi ada juga yang hanya membisu pasrah terhadap nasib yang mempermainkannya.
Saat itulah ada seorang yang berseragam coklat dengan bermacam aksesoris, terlihat gagah memasuki ruangan dan segera memberi ceramah walau terlihat agak garang bahasanya..
“Kalian sudah kami peringatkan biar tidak menghuni dan melakukan pekerjaan di daerah-daerah itu, kalian mengganggu fasilitas umum”
Mereka terlihat membisu dengan ceramah yang kedengarannya sangat membosankan tersebut. Dengan datang-datang salah satu dari mereka merespon ceramah tersebut.
“Pak apakah kami tidak punya hak untuk memakai akomodasi lazim, kan tadi bapak sendiri yang mengatakan bila tempat-tempat itu ialah tempat biasa ”
“Ya, kalian punya hak, tetapi perlu kalian ketahui bahwa yang kalian lakukan ialah salah, tidak mematuhi hukum yang berlaku, hukum dibentuk untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar”
Mereka terlihat diam dan tak ada yang berani merespon.
“Kalian mesti mengubah jalan hidup kalian, bekerjalah dengan masuk akal, berusahalah dengan upaya yang ada dengan niat yang lapang dada, negara ini makin terpuruk jikalau kalian terus saja begini”
Ada diantara mereka yang menanggapi pernyataan tadi,
“Maaf Pak, negara ini akan kian terpuruk bila yang di atas sana hanya berleyeh-leyeh menikmati singgasana dengan ribuan nafsu bejat, tanpa menghiraukan kami, bawah umur kami dan tentu saja anak-anak bangsa yang telah usang tertindas oleh keadaan serta tak nyinyir tanpa realita mirip juga yang banyak bapak omongkan!”
“Oughh….jadi kau menantang aku dan semua yang ada di sini?”
“Bukan aku tetapi kami”
Serentak mereka menghujamkan pandang ke arah orang yang baru saja mengatakan tadi. Tak berapa lama senyum kecil mengembang diantara raut muka-paras yang kusut yang berada dalam ruangan itu, kecuali mereka yang berseragam dan tergolong aku sendiri.
“Kalau bapak memang merasa tertantang, maka kami siap dengan segala tantangan walau sebenarnya kami tak sepenuhnya menantang anda, kami mampu merubah nasib kami dalam sekejap”
“Bagaimana cara kalian merubahnya hah…..? dengan mencuri, merampok, korupsi, apa yang hendak kalian korupsi, sandal jepit? Ya kalian mau korupsi sandal jepit, bahkan sandal jepit saja kalian tak memiliki”.
“Cukup mudah” Seseorang dari mereka berkata. Saya pun heran dengan jawaban dan pernyataan mereka, berani sekali mentalnya.
“Bagaimana cara merubahnya?” Orang berbaju seragam itu dipenuhi berbagai bentuk tanda tanya dalam benak pikirnya.
“Mari kita bertukar baju” jawabnya singkat.




Andi Dwi Handoko, Surakarta , 16 Desember 2007
gambar dari: riolis.files.wordpress.com