Friday, 8 October 2021

Diorama Kisah Di Sebuah Kota

Matahari telah mengarahkan matanya ke jendela kamarku Diorama Cerita di Sebuah Kota
Matahari sudah mengarahkan matanya ke jendela kamarku. Ruang-ruang gelap mulai menjelma jelas. Pikiranku masih terhanyut akan suatu planning untuk kembali ke kampung halaman. Di telingaku terlintas bayang lengkingan bunyi kereta api yang merapat bersahabat denganku. Suara deru roda besi seolah menjadi kidung pesona untuk dilantunkan. Getaran balasan roda besi yang menggerus rel sudah ku bayangkan mampu memualkan perutku yang tak lazimsarapan.
Aku sudah bersiap diri. Segalanya sudah ku bereskan. Aku akan pulang mengingat ingatan. Aku akan mengosongkan semua barang milikku. Namun aku takkan mengosongkan jejak-jejakku yang terukir berpengaruh di sini. Terutama jejak yang membekas menjadi suatu diorama bareng seorang gadis. Diorama pertemuan dalam satu hari saja. Dan ku kemas semua barang. Tampaknya kantor paket pengiriman barang di seberang jalan akan bertambah sibuk hari ini.
Langit mendung dan sesekali terdengar suara petir yang tak begitu memekakkan telinga. Dengan sebuah tas ransel besar dan padat, saya meninggalkan rumah kontrakan yang telah ku huni selama lima tahun lebih. Langkahku mantap meninggalkan kota ini. Jejak-jejakku selsai dengan sambutan pintu taksi yang hendak mengarahkanku ke stasiun.
Setiba di stasiun senen, terlihat gerimis menyambutku dengan iringan kilat-kilat petir serupa blitz kamera fotografer. Tampaknya saya akan berlama-usang di stasiun ini alasannya berdasarkan pengumuman dari petugas stasiun, Kereta Api yang mau mengantarkanku ke Solo datang telat. Maka ku habiskan waktu untuk menunggu dengan duduk ruang pojok lantai stasiun. Puluhan bahkan ratusan kandidat penumpang kereta berlalu lalang di depan tempatku duduk. Tas-tas besar mengiringi langkah-langkah mereka.
Memperhatikan semua itu, saya seperti menerima suatu hiburan tersendiri. Di sudut tempatku duduk, tampakanak kecil merengek meminta es krim terhadap ibunya. Tukang Koran mondar-mandir memberikan korannya. Pedagang asongan memperlihatkan dagangannya terhadap para kandidat penumpang. Sedangkan saya masih duduk sendiri membaca dan menjajal mengartikan setiap apa yang aku lihat.
Ada sepotong ingatan yang lalu melintas dalam pikiranku. Tentang kota yangakan ku tinggalkan ini. Empat tahun, aku habiskan abad kuliahku di sini. Satu tahun lebih aku habiskan untuk sekedar melepas letih sesudah memburu gelar sarjana. Bukan aku merepotkan kedua orang tuaku yang ada di Solo sana. Setelah lulus kuliah, tak ada duit saku bagiku dari orang bau tanah. Tapi saya mampu bertahan di sini dengan gaji goresan pena-tulisanku yang ku kirimkan dan diangkut di beberapa media kurun. Aku tak mampu mengelak lagi, dikala ayahku meminta pulang alasannya di Solo sana ada sebuah lowongan kerja yang cukup baik bagiku.
Gerimis telah berubah menjadi hujan. Angin yang sekali menampuk tetes air hujan, menjadi tempias yang kadang hingga di mukaku. Aku mencari daerah yang agak ke dalam biar tak terkena tempias hujan. Tak sengaja tatapku berjumpa dengan tampang yang tampaknya tak ajaib di memori otakku.
“Arini?!!!” aku berteriak kaku.
Sepintas dia melihatku. Dahinya berkerut mengambarkan sedang berpikir untuk mengeja memori otaknya untuk menemukan balasan siapa saya. Kepalanya miring ke kiri, seperti pose versi dalam peragaan busana. Aku menghampirinya seraya menenteng tas ranselku yang tadi aku letakkan di lantai.
“Arini?” aku memastikan lagi pertanyaan tanpa kata tanya itu.
“Monas?” beliau menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan senyuman yang khas.
Kita berjabat tangan seraya tawa menggelegar keluar dari mulut kami. Tentu saja kami tertawa, alasannya adalah dia menjawab pertanyaan─tanpa kata tanya─ku dengan kata Monas. Itu yang membuat lucu sebab namaku bukanlah Monas.
“Koko, apa kabar?”
Ia dengan tegas dan jelas menyebut namaku. Aku menangkap wajahnya yang teduh dengan binar senyum yang begitu bagus.
“Baik sekali Rin, , bagaimana denganmu?”
“Sama jug Ko, saya baik-baik saja”
“Mau kamana loe?”
“Mau ke Surabaya”
“Ouh…ke rumah nenekmu itu, piknik”
“Tidak, saya ada tugas meliput di suatu daerah di Surabaya”
Tampaknya keinginan orang di hadapanku sudah terwujud. Dulu keinginannya begitu berpengaruh untuk menjadi seorang yang terjun di bidang jurnalis. Ternyata dia sekarang sudah menjadi seorang wartawan. Kita pun duduk di lantai.
“Ayo ke Monas lagi!” candanya padaku.
Dan memang itulah yang tetap mengingatkanku padanya. Mungkin beliau juga begitu. Obrolan kita menuju kembali ke sebuah diorama yang pernah terukir ketika kita berjumpa di monumen dengan puncak obor emas menyala itu.

***
Taman Monas dengan santapan air mancur itu menjadi deskripsi latar ketika saya menangkap bias wajahnya masa itu. Aku duduk di atas rerumputan hijau di bawah pohon palem. Ia sendiri menatap gemericik air yang terus berotasi dari bawah ke atas, pun sebaliknya dari atas turun ke bawah lagi. Takjub mataku melihatnya serupa bidadari di taman nirwana. Namun saya yang memang bertipe orang pemalu, terlalu takut untuk mengajak kenalan.
Di taman itu cuma sejumput potongan kisah antara saya dan dia. Kemudian berlalu begitu saja, ketika aku mulai naik ke atas Monas untuk menikmati Jakarta di pagi hari. Hari ahad agak terlalu ramai, tetapi panorama kota dari atas memperlihatkan jalan-jalan kota yang agak terlalu longgar tak mirip hari kerja.
Di atas puncak Monas, jauh tatap pandangku menangkap gagahnya gunung Salak. Mataku seolah kaku dengan hipnotis keindahannya. Betapa agung karya Tuhan sang pencipta tersebut. Kemudian beralih ke bab utara, laut jawa begitu terlihat biru teduh. Jalan-jalan kota pun menjadi sebuah alur-alur yang estetis. Mataku tetap terkonsentrasi pada sketsa alam tersebut. Hingga tak sadar ketika saya membalikkan badan, aku menyenggol seorang wanita. Dan suatu keajaiban, beliau ialah perempuan yang berada di taman, di balik air mancur.
“Maaf”
“Oh tidak apa-apa…” jawabnya sekilas dengan iringan senyum tipis yang manis sekali.
Seolah Tuhan memang mempertemukan kami di sana. Ia memang seorang gadis yang cendekia bicara. Ia mulai memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Namaku Arini”
Sungguh sebuah analogi durian runtuh di hadapanku yang mempunyai status pria pemalu ini. Obrolan ringan mulai terjadi. Cerita tentang Monas membuat obrolan kita kian nyaman. Sambil memandang panorama kota, kita bertukar anggapan dan pengalaman. Ia bercerita perihal keinginannya menjadi seorang wartawan.
Setelah lama ngobrol, ku pahami dia anak orisinil Jakarta. Tinggal di Kebon Jeruk. Dari nama tempat Kebon Jeruk itulah kita berdiskusi cukup panjang perihal Soe Hoek Gie. Ia sangat menyukai puisi dari buku catatan Soe Hoek Gie. Aku pun mampu mengimbangi arah pembicaraannya, karena memang pada dasarnya aku yakni mahasiswa jurusan sastra.
Ia yaitu gadis yang paling aneh bagiku. Ia ialah seorang gadis yang baru ku kenal tetapi begitu akrab denganku. Ketika di mulai bosan di puncak Monas, kita turun untuk berpisah. Di ketika itulah diorama yang paling indah bagiku. Lift untuk turun ternyata sedang mengalami kerusakan sehingga dengan terpaksa kami memakai tangga darurat. Dari atas hingga bawah aku pegang tangannya. Bagiku hal itu mirip menjelmakan diriku menjadi Rama yang dengan gagahnya menggandeng Sinta.
Hanya pada ketika itu kami berjumpa , tiga tahun yang lalu, berikutnya tak ada kabar. Ku ajak bertukar nomor telepon, tetapi ia menolak. Ia hanya menyerahkan alamatnya di kebon Jeruk kepadaku. Namun setelah beberapa ahad aku meluangkan untuk berjumpa dengannya, ternyata rumahnya telah pindah. Dan itulah sebuah ketidakpuasan yang cukup memiliki arti bagiku.
Dan sekarang ia sudah ada di sampingku. Bercerita lagi ihwal diorama-diorama kehidupannya. Bercerita ihwal kepindahannya ke tanah abang dan sederet cerita yang terangkum dalam tarian indah verbal kecilnya itu. Ia masih seperti dahulu saat saya bertemu dengannya di taman Monas. Masih mirip bidadari di taman nirwana. Matanya , masih teduh, senyumnya masih bagus, tawanya masih lembut terdengar. Ku kira bukanlah sebuah kesalahan jikalau selama ini aku merindukannya.
Obrolanku denganny apecah. Suara lengkingan kereta api jurusan Surabaya terdengar keras di indera pendengaran. Petugas stasiun memberitahukan bahwa kereta administrator jurusan Surabaya sudah datang sedangkan kereta ekonomi jurusan Solo masih menanti sekitar lima belas menit lagi. Ia berdiri dari duduknya di sampingku. Aku pun menyusulnya bangun. Sebuah konferensi singkat. Dulu dengan sekarang tetaplah sama, menjadi suatu diorama yang kecil tetapi sangat mengesankan bagiku.
Ia berlari kecil menyambut kereta. Aku mengucapkan salam perpisahan. Bagiku mengembangkan cerita dengannya ialah suatu hal yang paling indah dari pada yang yang lain. Dari luar kereta mataku masih tertuju padanya. Ia duduk di tepi jendela. Dari ceritanya, dia memang paling suka duduk di tepi jendela dikala naik kereta atau bus Karena beliau bisa menikmati perjalananan. Aku pun membenarkan pernyataannya tersebut.
Suara lengkingan keretanya kembali berderu keras bertanda kereta akan berangkat. Aku melambaikan tangan, ia pun begitu. Ia tersenyum tipis. Manis sekali. Kereta mulai berlangsung pelan. Ia terus melambaikan tangan padaku. Kemudian kereta semakin cepat. Jauh kesannya menjauh. Kereta itu hanya membekaskan senyumnya dalam benakku. Aku hanya mampu memandang bagian kereta itu yang samakin lama makin kecil. Hilang.
Dia yaitu diorama yang mengisi ruang hatiku yang kosong. Aku berbalik menuju ruang tunggu stasiun. Hujan sudah reda. Sungguh hujan yang teramat singkat mirip kisahku dengannya. Dan aku baru terjaga, ada yang terlupa. Aku tak sempat meminta nomor teleponnya.


Solo, 10 November 2008