Friday, 8 October 2021

Perempuan Dalam Beranda

 Duduk di sebuah kursi rotan memandangi depan rumah tanpa halaman Perempuan dalam Beranda
Perempuan itu suka duduk di beranda. Duduk di suatu bangku rotan memandangi depan rumah tanpa halaman. Di depan beranda hanya pagar untuk membatasi antara rumah dan jalan. Ia paling suka duduk di beranda saat pagi dan sore hari. Tak ada sajian kopi ataupun teh jikalau ia sedang duduk di beranda. Hanya tatapannya saja yang tampak berisi menikmati pemandangan di depan rumah dan tangannya sekali-kali membuka buku kecil yang selalu dibawanya Tampak hilir mudik kendaraan dari arah kiri dan kanan. Terkadang bunyi tukang sayur dan penjual bubur ayam menjadi pendongeng pagi di setiap sela kanan kiri telinganya.
Seperti pagi itu. Ia terlihat menikmati keramaian di depan rumahnya. Dingin pagi hari di animo kemarau begitu menggigit kulit, namun ia tetap suka duduk dalam beranda. Ia yakin bahwa udara pagi yang tersinar matahari cukup untuk menghangatkan tubuh. Senyumnya begitu indah dengan balutan jilbab putih yang rapi. Tampak estetis sekali kalau ada seorang pelukis yang mau melukisnya dalam beranda di pagi itu. Sebuah suara menelusuri lekukan rongga telinganya. Ia pun berdiri dari duduknya, menjauh dari beranda, mendekati bunyi itu.
“Dua mangkuk pak”
“Baik Neng”
Dua mangkuk bubur ayam sudah berada dalam tangan Nisa. Ia masuk ke rumahnya. Menyantap hangat bubur ayam bareng suaminya tercinta. Dan sehabis itu, ia duduk kembali dalam beranda. Duduk di sana. Suaminya tiba menghampiri. Nisa bangkit dari duduknya dan menyalami dan mencium lembut tangan suaminya dan berakhirlah adegan mesra itu dengan ucapan assalamualaikum oleh suaminya dan balasan wa’alaikum salam oleh Nisa.
Seperti tak ada yang lain dijalankan Nisa. Ia kembali duduk dalam beranda. Kini dia sambil memandangi sebuah bunga mawar. Bunga mawar dengan sebuah mahkota yang beberapa hari lalu mekar merah merekah dan sekarang mulai kecoklatan tanda usia menua. Mungkin beberapa hari lagi bunga itu akan layu lalu kering. Seperti halnya insan kian lama maka akan kian layu sayu lalu menghadap sang illahi.
Orang-orang tidak tahu mengapa Nisa suka duduk dalam beranda. Bisa dibilang ia jatuh cinta pada beranda. Namun apa yang membuatnya jatuh cinta. Di sana beliau jarang duduk bareng suaminya. Tak ada tanaman hias kecuali bunga mawar yang telah mulai layu. Tak ada taman dengan kolam ikannya. Lantas apa yang membuatnya jatuh cinta pada beranda. Atau dia suka beranda alasannya pengucapannya nyaris sama dengan keranda. Dengan kata lain dia rindu terhadap surga. Taman firdaus Allah yang selalu dirindukan oleh umat-Nya yang beriman. Itu mungkin saja, kerena dunia penuh dengan kemungkinan.
Seorang nenek pedagang sayur keliling menghampirinya.
“Kenapa suka duduk di beranda sendirian Neng? Tidak baik untuk seorang perempuan bersuami seperti Neng ini”
“Tidak kenapa-napa Nek!, saya sedang menanti suami pulang”
“Kan mampu di dalam rumah Neng!”
“Saya ingin suami saya saat kembali dari melakukan pekerjaan , yang pertama dilihatnya yaitu aku Nek. Saya akan merasa bersalah dikala suami saya kembali bekerja dan yang pertama dilihatnya adalah beranda rumah yang kosong”
Tak ada sebuah balasan yang memuaskan dari Nisa. Nenek itu seakan tidak percaya dengan argumentasi tersebut. Semesra-mesranya suami istri, akan terlihat berlebihan jika seorang istri melupakan nyaris seluruh hari dengan senantiasa duduk di beranda hanya untuk menunggu suaminya tiba dari bekerja.
Kemudian tiba salah seorang ibu yang tak lain yaitu tetangga Nisa yang berada di sebelah rumahnya. Dengan percakapan pengiring ringan yang tak terlalu usang. Ibu itu menghimpun sebuah keberanian yang sudah usang dipendamnya untuk bertanya pada Nisa. Nisa cuma menjawab sama persis dengan jawaban yang diberikan nenek pedagang sayur tadi.
Tidak cuma satu dua orang itu yang suka menanyai tentang kebiasaanya duduk di beranda. Banyak yang sudah bertanya padanya, tetapi cuma jawaban yang sama mereka terima. Tidak lebih dari tanggapan bahwa Nisa menanti suaminya pulang.
Tidak puas dengan balasan yang sama. Maka orang-orang pun mencoba bertanya pada suami Nisa. Lelaki yang terkenal sikapnya yang agak keras itu pun menjawab sama dengan apa yang dikatakan Nisa. Dan inilah alasan menciptakan suami Nisa bersikap keras kepada orang-orang di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya selalu memburu-ngejar apa yang harus menjadi kepentingan pribadinya. Bersikap suuzon terhadap istri dan dirinya sendiri. Bahkan pernah ada sebuah pembicaraan bahwa istrinya itu kurang waras dan kurang kerjaan sebab beliau sebagian besar waktunya dihabiskan dengan hanya duduk di beranda dan sesekali membaca buku kecil yang senantiasa dibawanya. Suami mana yang tidak merasa panas dengan tuduhan mirip ini? Namun sekeras apa pun ia, terhadap Nisa ia senantiasa lembut dan tak ada sekat yang menghalangi kasih sayang untuk istrinya yang baru dinikahi satu tahun yang lalu.
Senja tiba bersama alunan bunyi azan magrib yang juga turut andil menidurkan mata ayam-ayam yang sudah berkeliaran seharian. Di beranda itu, Nisa menyambut suaminya kembali dari tempat kerja. Dengan anggun senyumnya, dia menjawab salam suaminya. Seolah-olah itu adalah senyum bidadari dari surga.
Setelah berubah baju, suaminya mengambil air wudhu dan disusul juga oleh Nisa. Mereka salat magrib secara jamaah. Rumah yang ditempati Nisa bareng suaminya memang kecil. Satu ruang tamu yang sempit, dapur, dua buah kamar dan sebuah kamar mandi. Untuk tetap mengingat dan beribadah kepada Tuhan. Mereka menjadikan sebuah kamar untuk dijadikan daerah salat. Semacam musala langsung di dalam rumah.
Selesai salat, keduanya makan malam.
“Ini mas, opor kesukaanmu buatan Bu Darsi yang sebelumnya sudah aku hangatkan”
“Bukan kesukaanku tetapi kesukaanmu juga”
Tampak sekali kebahagiaan menyelimuti kedua pasang insan suami istri tersebut. Dan malam semakin meninggi. Sudah waktunya manusia-insan terbuai dalam lelap.
Malam itu Nisa tak dapat tidur dengan nyenyak. Di pandanginya tampang suaminya yang tertidur pulas di sampingnya di antara remang ruang. Hanya sekelumit cahaya dari luar yang masuk dari celah jendela kamar, karena lampu kamar di matikan. Nisa bingung dan tak mampu tidur. Dengan menajamkan sorot matanya, dia mencoba melihat jam dinding yang tergantung di tembok.
Jam telah memberikan pukul dua dini hari. Dari beranjak tidur jam sembilan tadi. Ia hanya memejamkan mata namun alam sadarnya tetap terjaga. Suara-suara orang yang kerap mengajukan pertanyaan ihwal kesukaanya di beranda itulah yang membuatnya bingung. Intuisi menggerakkannya untuk keluar dari kamar. Ia menuju ke beranda. Tampak mata yang tadinya gusar kini menjadi hening. Entah aura apa yang ada dalam beranda itu, sehingga mampu dengan mudah menyepuh dan melepaskan kegundahan yang menggerogoti separuh malamnya.
Ia duduk memandangi jalanan yang melenggang sepi di depan rumahnya. Suara serangga malam menjadi lantunan alam yang meneduhkan pikirannya. Tak berapa usang, matanya berkaca-beling. Satu dua tetes air mata mengalir melewati lembah pipinya yang begitu halus. Berulang kali dia mengucap astagfirullah… astagfirullah…. astagfirullah..!
Ia masuk ke dalam rumah. Dan tak lama lalu beliau kembali ke beranda dengan sajadah dan mukena putih bersih. Raut parasnya terlihat segar setelah tersiram sucinya air wudhu. Di beranda itulah ia bertahajud. Bermunajat ihwal apa yang mesti beliau lakukan dalam hidupnya. Meminta ampunan dan ridha dari Allah semoga diberi petunjuk dan jalan yang lurus. Dalam sejuknya udara dini hari, ia melantunkan dzikir-dzikir kudus. Sepoi dini hari pun ikut bertasbih memuja penguasa alam dengan desis lirihnya. Doa Nisa beriring dengan tetes air mata. Suci air matanya, sesuci bening hatinya dalam meminta pemberian Allah.
Cahaya mentari pagi pun tiba kembali berkejar dengan kicauan burung-burung yang hendak menjelajahi dunia. Nisa telah duduk dalam berandanya. Dan pagi itu. Ia kembali di kunjungi seorang ibu dengan badan yang agak tambun. Jilbab coklat bau tanah yang dikenakan ibu itu,tampak telah usang, tetapi tetap membawa sebuah aroma seorang muslimah. Seperti orang-orang yang mendatangi Nisa sebelumnya, ibu itu juga mengajukan pertanyaan hal yang serupa terhadap Nisa.
“Mengapa kamu suka duduk di beranda?”
Kali ini Nisa tak eksklusif menjawab dengan jawaban yang sudah biasa beliau lontarkan. Ia termangu lama. Wajah ibu itu mirip tampang mendiang ibunya. Suara dari ibu itu mirip telah meluluhkan hatinya untuk tidak menjawab dengan jawaban yang biasa. Walaupun sebenarnya tanggapan yang sering dia lontarkan tidak ada sekecilpun kebohongan di dalamnya. Namun ada satu tanggapan yang sungguh berat ia lontarkan yang selalu dipendamnya selama ini. Dengan bunyi serak kesudahannya beliau menjawab pertanyaan itu.
“Saya suka di beranda karena saya membenci di dapur”
“Kaprikornus kau tak bisa memasak?”
Nisa mengangguk pelan seiring indah matanya mengeluarkan bulir-bulir air mata.

Surakarta, 9 Mei 2008
Sebuah inspirator untuk seseorang calon pendamping hidup
gambar dari: i203.photobucket.com