Friday, 8 October 2021

Layang Layang

Raung suara menggelegar di tengah langit biru Layang layang
Raung suara menggelegar di tengah langit biru. Keras suaranya memecah keheningan angkasa yang telah lama tak terpeluk halilintar di ekspresi dominan hujan. Suara tersebut muncul dari ufuk timur dan mengarah ke barat. Dalam tajam indera manusia seolah suara itu mencari celah jalan di tengah luas langit semesta. Arakan awan turut menaungi suara untuk mengawalperjalanannya dan membelah sunyi angkasa. Arakan awan tampaksemampai dengan putih warnanya. Menyeruak di dinding langit yang terpanggang sinar mentari. Jika di pandang dari kejauhan seperti lukisan alam yang menghiasi langit. Putihnya mengingatkan pikir untuk memandang putih melati di pagi hari.
Langkah sepasang kaki kecil lambat laun menjadi ayunan langkah yang cepat. Terlihat menjauh mengikuti arah suara itu akan menghilang. Terdengar soraknya dengan menengadahkan pandang ke arah angkasa. Jerit ceria tanda beliau sedang bangga dengan apa yang di lakukannya. Tangan kanannya dilambai-lambaikan mirip riuh lambaian nyiur di pantai yang terhempas angin bahari. Ia lalu bereteriak,
“Pesawatku jangan tinggal pilotmu ini”
Langkah kecilnya kini melambat dan terkesan gontai alasannya lelah berkejar dengan keinginannya. Ia lalu ingat benda kesayangannnya telah dia tinggal di sebuah tempat alasannya adalah ia terlalu bangga untuk berkejaran dengan langkah pesawat yang tak mungkin dikejarnya. Ia lalu berbalik arah mencari apa yang dia lewati. Sebuah layang layang tergeletak di bawah pohon kelapa lengkap dengan benang yang di gulung dalam sebuah bagian bambu. Layang-layang itu segera diraihnya. Ia berlari ke arah lapang. Sebuah ladang yang tak tertanami sebab trend kemarau datang. Tak ada air untuk irigasi.
Sebuah layang layang yang nyaris sebesar badan kecil itu di pegangnya. Amir memegang gulungan dengan berpengaruh dan mencoba menerbangkan layang-layangnya. Tak sulit untuk menerbangkan layang-layangnya. Angin yang cukup besar menolong dengan mendorongkan kekuatannya ke arah layang-layang tersebut. Layang-layang produksi ayahnya itu juga gampang untuk di terbangkan karena kepiwaian ayahnya yang memang mahir menciptakan layang-layang. Terik mentari masih cukup menyengat. Tak berapa lama di keningnya mulai mengalir sebuah peluh. Hari yang masih panas begini rasanya masih terlalu dini untuk menerbangkan layang-layang. Memang semangat Amir untuk bermain layang-layang tak terhiraukan walau panas memanggang badan kecilnya.
Kini dia mengikatkan benang layangnya yang hampir habis gulungannya alasannya telah menjulur ke langit untuk mewibawakan layang-layang. Ia mengikatkan ke suatu pohon turi yang tumbuh pada pematang. Ia menyandarkan tubuhnya pada kecil pohon turi. Sejenak kemudian dipandangnya layang-layang yang sudah diterbangkannya. Pandangannya kini menjauh ke sekelilingnya. Terlihat ayahnya dengan menenteng sebilah sabit dan suatu keranjang kawasan masakan ternak. Ayahnya menyapa Amir dan menyuruhnya untuk meninggalkan layang-layangnya dan membantu dirinya untuk mencari daun-daun turi untuk persediaan makanan ternaknya. Tak berapa usang lalu muncul belum dewasa lain yang bermain layang-layang di tempat tersebut.
Senja telah menorehkan jingganya. Semburat surya memancar mengambarkan beliau secepatnya tenggelam dalam pelukan malam. Amir segera menggulung layang-layangnya dan bersiap untuk pulang. Ayahnya sudah pulang dari tadi karena keranjangnya sudah penuh. Tangan kecilnya begitu berat menggulung benang layangnya. Tekanan angin yang berhembus cukup berpengaruh, namun jadinya dia dapat menyelesaikannya. Langkahnya terayun meninggalkan daerah itu.
Sesampai di rumah, ia mendapati ayahnya sedang meraut sebilah bambu. Ayahnya hanya seorang petani kecil-kecilan, tetapi beliau juga berprofesi selaku pembuat layang-layang. Layang-layang yang dibuatnya memang cukup elok dan seimbang saat dimainkan. Kali ini Amir memandang ayahnya dengan tatapan gila, khususnya jika memandang apa yang dibuat oleh ayahnya. Mata ayah Amir yang menangkap tatapan gila anaknya segera memberi penjelasan bahwa beliau sedang membuat suatu layang-layang yang hebat. Amir makin dibentuk asing dan penasaran dengan apa yang dibuat ayahnya. Setelah di beri klarifikasi oleh ayahnya secara detail maka beliau pun mengetahuinya. Ayahnya sedang menciptakan suatu layang-layang lainnya dari pada yang lain. Layang-layang ini seperti suatu pesawat melayang dengan desain tiga dimensi. Ayah Amir mencoba menjadikannya setelah ia melihat di sebuah isu di televisi yang menayangkan kontes layang-layang yang memakai layang-layang aneka macam bentuk dan dimensi.
Ayah Amir memang cukup pengertian terhadap Amir. Ia tahu anaknya suka dengan pesawat, bahkan anaknya itu bercita-cita selaku pilot. Sungguh hal yang merepotkan untuk di gapai untuk sekarang ini. Ekonomi keluarga pas-pasan. Mungkin jikalau kehidupan ekonomi keluarganya tak kunjung membaik, ia cuma mampu menyekolahkan Amir hingga tingkat SMP. Cita-cita Amir memang kuat. Ia suka sekali dengan pilot. Jika ada pesawat lewat, ia segera berlari keluar rumah dan meneriakkan ke arah pesawat itu berbagai kata-kata impiannya. Impiannya sekarang hanya sebatas dia bermain dengan layang-layangnya yang beliau sering menghayalkannya sebagai pesawat.
Tak hingga dua hari layang-layang dengan bentuk pesawat itu pun sudah final. Sungguh layng-layang yang indah. Bentuknya hampir serupa dengan bentuk pesawat yang sering dilihat Amir. Amir begitu senang dengan apa yang dibentuk oleh ayahnya. Sayang, layang-layang itu selesai pada malam hari sehingga dia harus menanti besok untuk menerbangkannya. Namun dia tak kecewa, beliau segera merencanakan layang-layang itu biar besok langsung dapat diterbangkan. Ia mengambil segulung benang gelasan dan mengikatkannya pada titik dan bab tertentu pada layang-layang tersebut sesuai isyarat ayahnya. Ia telah tak sabar menunggu hari esok.
Malam telah larut. Sudah saatnya manusia-insan memejamkan mata dalam lelap malam. Begitu pula Amir yang letih bermain layang-layang sepanjang hari. Matanya sudah kantuk menghendaki terlelap. Layang-layang itu dibawa Amir ke dalam kamar. Di tempatkannya pada sudut kamar. Dipandangnya lagi layang-layangnya itu. Tampak senyum ceria di raut parasnya. Ia beranjak ke kawasan tidur. Kantuk kian menyelimuti mata, tetapi tak juga terlelap. Pikirannya mulai menembus alam hayal. Berhayal kelak dia akan menjadi pilot yang tangguh. Lalu ia melirik layang-layang di sudut kamar. Sejenak layang-layang itu berubah menjadi pesawat yang besar. Mampu mengangkut puluhan bahkan ratusan penumpang. Ia duduk di kemudi pesawat dengan dibantu awaknya. Ia pacu pesawatnya dan lepas landas meninggalkan bandara. Sungguh hal yang membahagiakan. Ia terbang menyusuri awan putih yang hanya mampu di pandang manusia-manusia dari daratan. Terbang jauh di awang-awang. Amir tersenyum sendiri dengan perjalanan hayalnya. Malam bertambah larut. Senyum kecil itu menipis kemudian membawa si empunya terbang dalam lelap mimpi malam.
Pagi yang cerah dengan sejuk embun yang berkilau. Mata kecil itu terbuka dan pribadi menatap ke arah sudut kamar. Senyum kecilnya mengembang sehabis matanya menangkap gagah layang-layang berupa pesawat. Ia tak tabah ingin menerbangkannya. Namun dia ingat, beliau harus melaksanakan tugasnya yakni sekolah. Sekolah selaku pintu meraih cita. Sekarang ia duduk di kelas empat Sekolah Dasar.
Rasanya lega sehabis sehari penuh bergelut dengan guru dan buku pelajaran di sekolah. Tak luput juga bekumpul dengan sahabat sebayanya.Amir bergegas pulang. Diambilnya makan siang. Siang begitu panas. Terdengar ayahnya memanggilnya. Ayahnya menyuruh untuk berbelanja bensin di warung bu Jono yang akrab dengan rumahnya. Bensin itu dipakai untuk mengencerkan lem yang digunakan untuk merekatkan kertas atau plastik pada kerangka layang-layang. Di perlukan lem dengan daya rekat kuat.
Terik siang hari mulai mereda. Tangan kecil Amir menjinjing layang-layang yang siap untuk diterbangkan. Layang-layang tiga dimensi dengan bentuk pesawat. Namun kawasan dia bermain layang-layang telah penuh oleh teman-temannya yang lain. Ia takut sukar untuk menerbangkan miliknya. Ia menghentikan langkahnya dan berpikir sejenak. Di halaman rumah pun jadi. Ia pun kembali ke rumah.
Di halaman rumahnya yang cukup luas, Amir menebangkan layang-layangnya. Cukup mudah menerbangkannya. Angin cukup berpengaruh untuk mengangkat tinggi layang-layangnya. Layang-layang pesawat pun mengudara di tengah langit biru. Seraut muka Amir terlihat besar hati. Ayahnya turut menyaksikan dan memberi semangat.
Rasa puas menyembur dari wajah Amir. Namun tampaknya ada yang masih kurang. Ide kreatifnya timbul. Di turunkannya lagi layang-layangnya. Ayahnya tak menghiraukan apa yang di kerjakan oleh Amir sebab sedang sibuk dengan layang-layang buatannya. Setelah laynag-layang itu turun, dia berlari ke arah samping rumah. Di san ada suatu pohon keluwih yang cukup besar. Ia mencari sesuatu di sekelilingnya. Ia menemukannya. Sebuah kembang keluwih yang sudah kering. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama "babal". Ia memotongnya menjadi dua dan menyelipkannya pada dua segi layang-layangnya. Di sulutnya kembang keluwih itu dengan korek api. Asap mengepul dari kedua sisi layang-layangnya.
Diterbangkannya lagi layang-layangnya. Seperti pesawat sungguhan yang bisa mengeluarkan asap. Ia berdecak puas dengan kreativitasnya. Ia menawan-narik benang layang untuk mengemudikannya. Namun secara tiba-datang angin berhembus sangat kencang. Layang-layangnya menukik ke bawah. Hilang dari singgasana langit.
Angin kembali melambat. Ia melihat layang-layangnya jatuh di sekeliling warung bu Jono. Ia menggulung benang layang seadanya dan berlari hendak mencari layang-layangnya. Belum jauh kakinya berlari, terdengar ledakan yang cukup besar lengan berkuasa dari arah yang ia tuju. Tak berapa usang, orang-orang berlari dan berteriak, "kebakaran.....!!! kebakaran......!!!warung bu Jono kebakaran....!!!".




Surakarta, 27 April 2007
gambar dari:mrfajarsyah.files.wordpress.com