Saturday, 9 October 2021

Catatan Angka 13 Di Bulan 11 Tahun 2008

Untuk pertama kali saya menangis di atas catatan akhir hayat. Seumur hidup, sampai usiaku makin menjelang senja, hari itu air mata di atas kematian turun perlahan di atas pipi bersama isak yang ku tahan dalam luruhnya perasaan. Aku ialah orang yang jarang menangis, sudah usang saya tak menangis. Mungkin tangis waktu kecilku sudah menciptakan air mata kering, Karena tak disangkal waktu kecilku hampir saban hari saya menangis. Namun saya tumbuh menjadi sebuah watu yang keras, tak luluh dengan sebuah tangis kesedihan. Tapi dan tapi, hari itu tangisku pecah bahkan tak bisa menahannya.
Kakekku meninggal…………………………
Tak ku memahami ternyata jabat tangannya di malam itu adalah jabatan terakhir untukku. Beliau begitu cepat meninggalkan kesunyian di rumah.
Aku masih ingat dikala saya masih kecil. Waktu sekolah Taman Kanak-kanak hingga nyaris kelas tiga SD. Beliau selalu membangunkan saya dengan memijat-mijat kakiku apalagi dahulu. Jika tidak, aku tak akan bangun pagi dan berangkat sekolah. Jika badanku masih ngantuk dan malas, kadang-kadang beliau menggendongku sampai ke tempat mandi.
Tak hanya itu, ia selalu dengan tabah menyediakan air hangat untuk memandikan saya. Hingga suatu hari, mungkin sebab ceroboh, dia lupa mencampur air panas dengan air hambar hingga tubuhku terguyur dengan air panas, tetapi air itu tak begitu panas sehinga tubuhku tak hingga mengelupas, hanya jerit tangisku yang terdengar keras waktu itu.
Setelah mandi, ia akan mempersiapkan sepatu sembari saya menggunakan baju. Dan suatu kali, niat isengku timbul. Beliau senantiasa membersihkan sepatuku dengan membalikkannya biar pasir/kotoran dalam sepatu hilang/keluar. Dan ideku cukup menjadikannya tertawa gemas. Malamnya saya menenteng segenggam pasir dan ku taruh dalam sepatuku. Dan pagi datang ketika aku telah siap menggunakan sepatu, dengan terkejut ia membalikkan sepatuku Karena dari dalam sepatuku keluar pasir yang berbagai. Betapa sabarnya dia.
Beliau juga yang mengajariku untuk menggunakan sepatu sendiri. Beliau yang mengajari aku bentuk-bentuk tali sepatu adalah tali kuda dan kupu-kupu. Tali kupu-kupu bagiku waktu itu terlalu susah, sehingga saya sering menggunakan tali kuda. Hingga sekarang pelajaran darinya wacana tali menali sepatu masih aku gunakan, tetapi kini sudah bisa menali kupu-kupu. Sejenak aku berpikir, dari manakah ia punya pengalaman menali sepatu, sekolah pun beliau tidak.
Dan sekarang dia sudah tiada. Ketika saya pulang, tak ada lagi seorang kakek duduk di suatu bangku kayu di beranda rumah belakang sambil menikmati teh hangat yang lazimnya ditawarkan nenek. Kini shaf shalat berjamaah di mushala samping rumah berkurang. Tak ada lagi kakek menjadi makmum menantunya.
Aku masih ingat betapa ia sangat begitu mempedulikan barang-barang yang telah rusak. Sandal-sandal jepit yang telah putus, ia ambil dan dengan telatennya ia benahi semoga bisa digunakan kembali. Bahkan sering menggunakan paku dan kawat untuk membereskan sandal-sandal tersebut, sehingga sebuah kali kakiku sedikit tertusuk paku ketika memamakai sandal tersebut. Untungnya cuma sedikit tertusuk, tidak begitu parah.
Beliau juga yang sering mencampakkan sampah hasil dari limbah warung ibu. Tempat sampahnya pun dia yang menjadikannya. Terbuat dari anyaman bambu. Dipundaknya sendiri daerah sampah itu, kemudian pergi membuangnya di bersahabat kali yang juga sekaligus untuk menutup pematang sawah yangs kerap kali longsor.
Dan baru beberapa bulan yang lalu, beliau dengan kuatnya membuat kayu bakar dari tunggak-tungak pohon yang telah mengering. Aku membantunya, dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Aku hanya mampu sedikit sedikit. Di sela-sela saya mengapak kayu bakar, dia mengajukan pertanyaan wacana hal-hal yang berhubungan dengan kuliahku.
Di waktu kecil aku juga pernah berkhayal dan bermimpi berujud doa, kelak ketika aku mendapat jodoh dan akan dipertemukan dalam ikatan perkawinan, supaya saja kakek masih mampu mendatangi dan melihatku bersanding bersama perempuan jodohku. Namun takdir memilih lain. Kini mimpi dan khayalanku itu cuma sebatas mimpi dan khayalan belaka.
Aku juga berharap dikala aku lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana ia masih di sisiku. Ketika wisuda akan ku ajak ia menghadiri acara wisudaku, melihat kampusku, menyaksikan aku memakai toga, dan berfoto bareng . Namun itu hanya harap semu belaka, sekarang beliau justru diwisuda apalagi dulu oleh Allah SWT dari hidupnya di alam fana.
Aku juga masih ingat di waktu kecil aku bersama ayahku turun ke ladang ketika hujan untuk menanam kapas. Ketika kami beranjak untuk pulang dan waktu itu hujan sedang deras-derasnya, kakekku justru baru berangkat ke ladang dengan menenteng cangkul dan kami berpas-pasan di pematang sawah.
Kini nenekku tidur sendiri di kamar. Kadang kurun saat kakek sedang tidur, dengkurannya hingga terdengar di kamarku. Kini suara dengkuran itu telah tiada. Sering aku berpikir, betapa kesepian nenekku yang setiap hari mempersiapkan segelas teh dan kudapan untuk kakek di beranda rumah belakang yang kini juga makin tua dan kian bau tanah. Kadang untuk mampu berbicara dengannya mesti dengan bunyi keras.
Aku tak pernah berpikir untuk kehilangan kakek secepat ini. Ketika saya berangkat kuliah ke Solo dua minggu yang lalu, kakek masih sehat bugar dan masih kuat menanam kedelai di ladang. Namun seminggu lalu penyakit hernia (lima belas tahun lalu ia juga operasi hernia di bagian kanan perut) ia kambuh (sekarang bagian kiri) dan hari itu juga pribadi masuk RS dan operasi. Menjelang operasi itulah, saya terakhir kali berjabat tangan dengan dia. Terakhir kali aku memeluknya untuk mendudukkan ia di kursi roda. Dan kata-kata terakhir yang masih saya ingat ketika saya pamit balik ke solo yaitu ”ngati-ati”. Dan saya tak sadar jikalau kata-kata itulah yang terakhir saya dengar dari dia. Dan aku tak sempat menjenguknya lagi, Karena peran kuliahku menumpuk menjelang mid semester. Hanya mengajukan pertanyaan kabar melalui SMS ke kakakku.
Dan kini ia telah tiada, mengakhiri kembara hidupnya di dunia. Aku sedikit senang, dikala detik-detik akhir hayat ia, ayahku dengan sabar menuntun kakek membaca kalimat syahadat. Kakek mengucapkannya dengan suara yang cukup keras didengar dan semakin usang-kian letih sampai mengeluh bila ia letih mengucapkannya. Hingga ayahku memerintahkan untuk membatinnya saja. Dan beliau membatinnya dengan sedikit mengerakkan bibir mengucap syahadat. Namun beliau kembali lagi mengucap dengan bunyi dan membatinnya lagi dank au tak tahu apa yangterjadi setelah itu. Takdir telah dekat kepada beliau.
Begitu banyak kepingan kisah bersama ia, beberapa bulan lalu aku dan dia (cuma berdua) mengolah hasil kedelai yang telah mongering. Hingga larut sore pekerjaan itu belum final dan aku masuk ke rumah sebentar untuk shalat ashar. Kakek masih sibuk dengan kedelainya. Aku kembali. Dan menjelang maghrib ia mengajukan pertanyaan padaku “wis ashar ko?” (kakek+keluargaku memanggil aku Koko. Aku jawab “sampun, wau”. Tampak raut kegalauan padanya, mengapa kamu tak mengajaknya tadi. Dengan terburu-buru, beliau mengambil air wudhu dan salat ashar.
Habis idul fitri kemarin aku juga sempat mengantarkan ia pergi ke pasar membeli alat-alat pertanian. Dari situ saya tahu bahwa mental bisnis kakek persis saya, tampaknya beliau tak berakal menawar barang. Aku pun tak dapat membantunya, karena aku memang kurang pandai menawar.
Selamat tinggal kakek…….agar kau tenang dan tenang di alam sana…………..Semoga surga yakni kawasan yang patut bagimu…………….
Allâhummagh firlahu, warhamhu, wa ‘âfihi wa’ fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wawassi’ mudkhalahu, waghsilhu bil mâ’i watstsalji wal baradi, wanaqqihi minal khathâyâ kamâ naqqaitats tsaubal abyadha minaddanasi. Wabdilhu dâran khairan min dârihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wadkhilhul jannah, wa’dzihi min ‘adzâbil qabri wa min adzâbin nâr.
“Ya Allah ampunilah beliau, sayangilah dia, maafkanlah ia, muliakanlah daerah singgahnya, luaskan kawasan masuknya, mandikanlah dengan air salju dan es. Hapuskanlah kesalahannya, sebagaimana bersihnya baju putih dari kotoran, gantikanlah dengan kawasan tinggal yang lebih baik dari kawasan tinggalnya (di dunia), keluarga yang lebih baik dari keluarga di dunia, pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia, masukkan beliau ke dalam jannah, lindungi beliau dari adzab kubur dan dari adzab api neraka.”