Thursday, 14 October 2021
Cerpen Kali Ini
LENGGANG KEHIDUPAN
Oleh : Adh
Oleh : Adh
Tiga cowok terlihat beristirahat di sebuah emperan toko. Memanfaatkan waktu untuk mengeringkan peluh yang membasahi badan. Udara cukup panas. Matahari telah berada tepat di atas kepala. Siang telah melalaikan setengah rutinitas matahari. Raung kendaraan silih brganti mengisi indera pendengaran mereka. Di depan emperan took yang tutup itu, salah satu dari mereka menyalakan rokok. Sesaat lalu dihisapnya dalam-dalam. Terlihat pada raut wajahnya ia menikmati rokoknya. Temannya yang berada tepat di samping kanannya turut mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana panjangnya. Entah celana panjang atau celana setengah panjang, karena cuma beberapa centi saja di bawah lutut. Ia mengambil sebatang rokok. Ia meminjam rokok temannya tadi yang sudah dihisap untuk menyalakan rokok yang gres saja beliau keluarkan. Satu semburan asap keluar mengepul dari mulutnya.
“ Ton!, Mau rokok nggak? ini aku masih ada!” cowok yang baru sajamenyulut rokok memperlihatkan rokoknya terhadap Anton. Ia berjulukan Rudi. Seketika cowok yang lebih dulu menikmati rokok menyahut.
“ Mana mungkin dia mau merokok, lha dia sudah berjanji dihadapan orang tuanya untuk tidak menikmati yang namanya rokok.”
Anton sejurus menatap Tono yang baru saja berbicara. Anton cuma membuatkan senyum persahabatannya. Anton senantiasa ingat kesepakatan itu. apalagi di dikala ada orang yang menawarinya untuk merokok. Bagi kehidupannya, kesepakatan itu mirip adegan slow motion yang di ulang-ulang dalam sebuah film. Bahkan kini beliau sudah menganggap komitmen itu sebagai prinsip hidup yang mesti selalu ia pegang.
“ Ingkari saja janjimu itu. Sekarang jamannya sudah biasa ingkar janji. Presiden saja suka ingkar komitmen, kok kita sebagai rakyatnya tak maubahkan dihentikan ingkar kesepakatan?” Ungkap Rudi.
Anton hanya membisu dengan pernyataanitu. Ia cuma menikmati waktu istirahatnya dengan memainkan gitar yang berada di pangkuannya. Ia memainkan lagu yang sedang popular di bulan ini. Mereka terlihat sungguh lelah. Rasa kantuk menghinggapi mereka. Rudi menganjurkan untuk pulang alasannya adalah rasa kantuknya sudah tak dapat ditahan lagi. Semua menyetujuinya. Terlihat langkah kaki mereka meninggalakn emperan toko.
Malam sudah mengganti senja. Bintang-bintang menyala terang menghiasi singgasana langit. Suara serangga malam saling bersahutan melawan kegaduhan kendaraan kota yang kian malam kian menyusut.
Mereka tampak sibuk dengan bukunya masing-masing dalam suatu ruang. Mereka mesti merencanakan otak dan mental mereka untuk menghadapi ujia yang akan diadakan dosennya. Dosen yang terkenal killer di antara dosen-dosen yang lain. Kebiaasannya memberi nilai seadanya bahkan terkenal sangat pelit. Bukan pelit, namun dosenitu terlalu objektif terhadap mahasiswanya tanpa menyaksikan faktor-aspek lainnya seperti kerajinan, kelakuan dan yang lain.
Pagi begitu cerah. Langit biru terang terpendar cahaya mentari. Anton, Tono dan Rudi telah siap berangkat kuliah dengan dandanan yang tidak mengecewakan klimais. Pagi itu mereka berangkat lebih pagi dari lazimnya karena jam pertama ada ujian oleh dosen killer yang pernah mereka temui. Sampai soal ujian dibagikan dan disuruh melaksanakan. Terlihat ruang kuliah ynag padat mahasisiwa itu sungguh sepi. Meski ada bunyi, paling-paling hanya suara pulpen jatuh atau decitan bangku bergeser.
Tepat tengah hari acara kuliah tamat. Jam pertama sampai jam kedua yakni ujian. Jam selanjutnya mereka hanya duduk hening mendengarkankuliah dari dosen lain sampai kuliah akhir. Anton mengajak Tono dan Rudi untuk makan di kantin. Mereka menyetujuinya. Dengan segera mereka menuju ke kantin. Kantin paling murah di kampusnya dengan plakat “Kantin Sederhana”. Nama kantin itu cocok sekali dengan harga kuliner yang dijual di kantin tersebut.
” Bagaiman nanti sore? Kita mau ngamen tidak?” Rudi mengajukan pertanyaan pada Anton dan Tono.
“ Tentu dong!” Jawab mereka serentak.
Inilah kehidupan mereka. Mahasiswa dengan sederet kegiatan. Mereka menggemari keleluasaan dan seni yakni bagiannya.Waktu luang adalah momok bagi mereka. Pemikiran dasarnya adalah tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Sekecil apapun waktu luang, mesti mereka isi dengan hal yang memiliki kegunaan. Walau demikian, mereka tetap membutuhkan waktu istirahat. Kesehatan dan ketahanan fisik yakni modal untuk hasil yang bagus. Di antara kebebasan itu, mereka kurang menyukai birokrasi. Baginya birokrsi dapat menghalangi kreativitas mereka.
“Biarlah birokrasi itu ada, namun biarkan juga orang lain yang mengurusnya alasannya tanpa birokrasi hukum yang ada akan menjadi berantakan” Itu yang sering mereka katakan. Mereka tidak mau menggeluti ke dalamnya.
Pagi pastinya waktu untuk kuliah. Waktu kuliah tidak sampai sore, hamya sampai tengah hari. dan itu pun setiap hari, kecuali hari sabtu dan minggu. Hari sabtu dan Minggu yakni hari bebas kuliah. Seusai kuliah yaitu waktu yang bebas untuk mereka gunakan Kegiatan formal tidak mengikatnya. Mereka menggunakan waktu yang luang untuk berkarya., khusuusnya karya seni. Dari karya-karyanya itu, mereka menciptakan banyak uang untuk menolong kehidupan mereka. Tak jarang nama-nama mereka terpampang di media era baik setempat maupun nasional. Karya-karya mereka berbentukessai, puisi novel dan lukisan.
Mereka suka berkelana ke segala penjuru kota untuk mengamen. Ngamen adalah hiburan bagi mereka sendiri dan orang lain. Dari ngamen, uang yang diperoleh ialah tujuan kesekian kali. Tujuan utama yakni mengeksplor talenta dan tentunya melatih mental untuk menghadapi segala tantangan serta pengalaman. Tak jarang mereka mereka menemukan pengalaman yang pahit dari mengamen. Tapi pastinya itu semakin menjadi warna hidup yang menghiasi cerita mereka. Dicaci, dicemooh, diusir dan sedret kata-kata yang tidak mengenakan sering mereka rasakan. Itupun mampu menjadi wawasan tersendiri bagi mereka ialah dapat menyaksikan banyak sekali huruf dan sikap banyak orang.
Mengamen di tempat umum ialah hal yang sarat dengan tantangan. Mereka semampunya mampu menjadi seekor bunglon yang snggup merubah warna atau seekor cicak yang memotong ekornya saat ada sesuatu yang membahayakan. Harus main petak umpet dengan preman-preman yang ada. Nyali mereka mesti besar untuk meladang di beberapa kawasan yang telah diakui selaku wilayah kekuasaan para preman. Padahal kekuasaan seharusnya berada di tangan pemerintah. Walu bergotong-royong pemerintah sendiri kadang kala menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Mereka mengaku selaku pihak keselamatan tanpa nomor induk. Adakah pertanyaa bagi siapa pun “ Buat apa polisi?”
Sore itu sesudah paginya mereka berpikir keras untuk cobaan, mereka putuskan untuk mengamen. Sore itu seitar pukul empat. Anton berlangsung tegak dengan menjinjing gitar kesayangannya. Begitu pula dengan Tono . Ia menjinjing kentrungnya. Rudi tak membawa alat musik seperti halnya mereka berdua. Ia cuma menggunakan topi yang sering digunakan untuk daerah uang ketika mengamen. Ia hanya mengandalkan suara dan tepuk tangan dalam menjalani profesi sebagai pengamen. Meeka beraksi di setiap gang perumahan. Berdendang lagu tolong-menolong setiap di depan rumah. Entah rumah siapa,mereka tak perduli. Entah rumah polisi, dosen, dokter bahkan rumah sobat-sobat kuliah mereka sambangi. Seratus, dua ratus, lima ratus dan bahkan seribu. Untuk jumlah yang terakhir itu jarang sekali mereka peroleh. Tapi entah ada angin apa, sore ini mereka sudah mendpatkan empat lembar duit seribuan. Entah hari baik atau nasib yang sedang mujur.
Senja sudah tiba. Mereka belum juga menyelesaikan pekerjaannya sebagai pengamen. Adzan maghrib berkumandang. Ibadah juga ialah janji mereka. Hidup yakni untuk beribadah dan berkarya. Hidup tanpa amal dan karya ialah kosong tanpa makna.
Setelah sholat Maghrib mereka melanjutkan mengamen. Namun tidak dikomplek perumahan, melainkan di bus-bus malam. maklum hari mulai malam. Dan mereka bernyanyi dari stu bus ke bus yang lain. Dan peristiwa itu terjadi. Bus telah berhenti di terminal. Mereka hendak turun, pengamen lain masuk ke dalam bus. Dan inilah, pengamen yang baru masuk merasa ladangnya sudah dimasuki kucing liar.
Aksi saling debat terjadi. Keributan secepatnya terjadi. Mereka tak sempat lari dan segera di seret ke gang sempit. Pengamen lain tersebut menenteng teman-temannya yang sering nongkrong di terminal tersebut. Jumlahnya sekitar delapan orang. Mereka hanya dan harus bertahan alasannya adalah dikeroyok. Sepucuk belati keluar dari tangan dan menjajal menhujamkannya ke tubuh Rudi. Tangan Anton menangkis dan tak sengaja menusuk dada seseorang dari kawanan. Satu preman mati.
Polisi tiba mengintrogasi. Mereka ditangkap alasannya sidik jari Anton melekat dalam belati. Beragam alasan yang merek kemukakan. Tapi nyatanya sia-sia. Menjadi sosok selaku pengamen dan hidup di jalanan telah mencap mereka selaku sosok yang begitu dengan kriminalitas. Status mahasiswa tak menguatkan alasan-alasan yang mengendorkan mereka. Dan inilah sebuah realita yang mesti dihadapinya.
Semua dijadikan tersangka. Dan Anton yaitu selaku tersangka utama. Lebih buruk lagi, pihak kampus dengan hukum yang ada sudah menjatuhan vonis drop out apalagi dulu. Hal ini untuk menjaga nama baik kampus. Kini mereka mendekam di penjara. Dingin, kotor, sumpek memenuhi segala situasi. Harapan menjangkau cita selaku sarjana sudah pupus. Namun ini semua belum sepenuhnya pupus, mungkin hanya tertunda saja. Mereka yakin bahwa dewa itu adil. Entah hingga kapan mereka harus menjalani keterpurukan ini. Hanya waktu yang akan menjawab.
Surakarta, 29 Maret 2007
“ Ton!, Mau rokok nggak? ini aku masih ada!” cowok yang baru sajamenyulut rokok memperlihatkan rokoknya terhadap Anton. Ia berjulukan Rudi. Seketika cowok yang lebih dulu menikmati rokok menyahut.
“ Mana mungkin dia mau merokok, lha dia sudah berjanji dihadapan orang tuanya untuk tidak menikmati yang namanya rokok.”
Anton sejurus menatap Tono yang baru saja berbicara. Anton cuma membuatkan senyum persahabatannya. Anton senantiasa ingat kesepakatan itu. apalagi di dikala ada orang yang menawarinya untuk merokok. Bagi kehidupannya, kesepakatan itu mirip adegan slow motion yang di ulang-ulang dalam sebuah film. Bahkan kini beliau sudah menganggap komitmen itu sebagai prinsip hidup yang mesti selalu ia pegang.
“ Ingkari saja janjimu itu. Sekarang jamannya sudah biasa ingkar janji. Presiden saja suka ingkar komitmen, kok kita sebagai rakyatnya tak maubahkan dihentikan ingkar kesepakatan?” Ungkap Rudi.
Anton hanya membisu dengan pernyataanitu. Ia cuma menikmati waktu istirahatnya dengan memainkan gitar yang berada di pangkuannya. Ia memainkan lagu yang sedang popular di bulan ini. Mereka terlihat sungguh lelah. Rasa kantuk menghinggapi mereka. Rudi menganjurkan untuk pulang alasannya adalah rasa kantuknya sudah tak dapat ditahan lagi. Semua menyetujuinya. Terlihat langkah kaki mereka meninggalakn emperan toko.
Malam sudah mengganti senja. Bintang-bintang menyala terang menghiasi singgasana langit. Suara serangga malam saling bersahutan melawan kegaduhan kendaraan kota yang kian malam kian menyusut.
Mereka tampak sibuk dengan bukunya masing-masing dalam suatu ruang. Mereka mesti merencanakan otak dan mental mereka untuk menghadapi ujia yang akan diadakan dosennya. Dosen yang terkenal killer di antara dosen-dosen yang lain. Kebiaasannya memberi nilai seadanya bahkan terkenal sangat pelit. Bukan pelit, namun dosenitu terlalu objektif terhadap mahasiswanya tanpa menyaksikan faktor-aspek lainnya seperti kerajinan, kelakuan dan yang lain.
Pagi begitu cerah. Langit biru terang terpendar cahaya mentari. Anton, Tono dan Rudi telah siap berangkat kuliah dengan dandanan yang tidak mengecewakan klimais. Pagi itu mereka berangkat lebih pagi dari lazimnya karena jam pertama ada ujian oleh dosen killer yang pernah mereka temui. Sampai soal ujian dibagikan dan disuruh melaksanakan. Terlihat ruang kuliah ynag padat mahasisiwa itu sungguh sepi. Meski ada bunyi, paling-paling hanya suara pulpen jatuh atau decitan bangku bergeser.
Tepat tengah hari acara kuliah tamat. Jam pertama sampai jam kedua yakni ujian. Jam selanjutnya mereka hanya duduk hening mendengarkankuliah dari dosen lain sampai kuliah akhir. Anton mengajak Tono dan Rudi untuk makan di kantin. Mereka menyetujuinya. Dengan segera mereka menuju ke kantin. Kantin paling murah di kampusnya dengan plakat “Kantin Sederhana”. Nama kantin itu cocok sekali dengan harga kuliner yang dijual di kantin tersebut.
” Bagaiman nanti sore? Kita mau ngamen tidak?” Rudi mengajukan pertanyaan pada Anton dan Tono.
“ Tentu dong!” Jawab mereka serentak.
Inilah kehidupan mereka. Mahasiswa dengan sederet kegiatan. Mereka menggemari keleluasaan dan seni yakni bagiannya.Waktu luang adalah momok bagi mereka. Pemikiran dasarnya adalah tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Sekecil apapun waktu luang, mesti mereka isi dengan hal yang memiliki kegunaan. Walau demikian, mereka tetap membutuhkan waktu istirahat. Kesehatan dan ketahanan fisik yakni modal untuk hasil yang bagus. Di antara kebebasan itu, mereka kurang menyukai birokrasi. Baginya birokrsi dapat menghalangi kreativitas mereka.
“Biarlah birokrasi itu ada, namun biarkan juga orang lain yang mengurusnya alasannya tanpa birokrasi hukum yang ada akan menjadi berantakan” Itu yang sering mereka katakan. Mereka tidak mau menggeluti ke dalamnya.
Pagi pastinya waktu untuk kuliah. Waktu kuliah tidak sampai sore, hamya sampai tengah hari. dan itu pun setiap hari, kecuali hari sabtu dan minggu. Hari sabtu dan Minggu yakni hari bebas kuliah. Seusai kuliah yaitu waktu yang bebas untuk mereka gunakan Kegiatan formal tidak mengikatnya. Mereka menggunakan waktu yang luang untuk berkarya., khusuusnya karya seni. Dari karya-karyanya itu, mereka menciptakan banyak uang untuk menolong kehidupan mereka. Tak jarang nama-nama mereka terpampang di media era baik setempat maupun nasional. Karya-karya mereka berbentukessai, puisi novel dan lukisan.
Mereka suka berkelana ke segala penjuru kota untuk mengamen. Ngamen adalah hiburan bagi mereka sendiri dan orang lain. Dari ngamen, uang yang diperoleh ialah tujuan kesekian kali. Tujuan utama yakni mengeksplor talenta dan tentunya melatih mental untuk menghadapi segala tantangan serta pengalaman. Tak jarang mereka mereka menemukan pengalaman yang pahit dari mengamen. Tapi pastinya itu semakin menjadi warna hidup yang menghiasi cerita mereka. Dicaci, dicemooh, diusir dan sedret kata-kata yang tidak mengenakan sering mereka rasakan. Itupun mampu menjadi wawasan tersendiri bagi mereka ialah dapat menyaksikan banyak sekali huruf dan sikap banyak orang.
Mengamen di tempat umum ialah hal yang sarat dengan tantangan. Mereka semampunya mampu menjadi seekor bunglon yang snggup merubah warna atau seekor cicak yang memotong ekornya saat ada sesuatu yang membahayakan. Harus main petak umpet dengan preman-preman yang ada. Nyali mereka mesti besar untuk meladang di beberapa kawasan yang telah diakui selaku wilayah kekuasaan para preman. Padahal kekuasaan seharusnya berada di tangan pemerintah. Walu bergotong-royong pemerintah sendiri kadang kala menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Mereka mengaku selaku pihak keselamatan tanpa nomor induk. Adakah pertanyaa bagi siapa pun “ Buat apa polisi?”
Sore itu sesudah paginya mereka berpikir keras untuk cobaan, mereka putuskan untuk mengamen. Sore itu seitar pukul empat. Anton berlangsung tegak dengan menjinjing gitar kesayangannya. Begitu pula dengan Tono . Ia menjinjing kentrungnya. Rudi tak membawa alat musik seperti halnya mereka berdua. Ia cuma menggunakan topi yang sering digunakan untuk daerah uang ketika mengamen. Ia hanya mengandalkan suara dan tepuk tangan dalam menjalani profesi sebagai pengamen. Meeka beraksi di setiap gang perumahan. Berdendang lagu tolong-menolong setiap di depan rumah. Entah rumah siapa,mereka tak perduli. Entah rumah polisi, dosen, dokter bahkan rumah sobat-sobat kuliah mereka sambangi. Seratus, dua ratus, lima ratus dan bahkan seribu. Untuk jumlah yang terakhir itu jarang sekali mereka peroleh. Tapi entah ada angin apa, sore ini mereka sudah mendpatkan empat lembar duit seribuan. Entah hari baik atau nasib yang sedang mujur.
Senja sudah tiba. Mereka belum juga menyelesaikan pekerjaannya sebagai pengamen. Adzan maghrib berkumandang. Ibadah juga ialah janji mereka. Hidup yakni untuk beribadah dan berkarya. Hidup tanpa amal dan karya ialah kosong tanpa makna.
Setelah sholat Maghrib mereka melanjutkan mengamen. Namun tidak dikomplek perumahan, melainkan di bus-bus malam. maklum hari mulai malam. Dan mereka bernyanyi dari stu bus ke bus yang lain. Dan peristiwa itu terjadi. Bus telah berhenti di terminal. Mereka hendak turun, pengamen lain masuk ke dalam bus. Dan inilah, pengamen yang baru masuk merasa ladangnya sudah dimasuki kucing liar.
Aksi saling debat terjadi. Keributan secepatnya terjadi. Mereka tak sempat lari dan segera di seret ke gang sempit. Pengamen lain tersebut menenteng teman-temannya yang sering nongkrong di terminal tersebut. Jumlahnya sekitar delapan orang. Mereka hanya dan harus bertahan alasannya adalah dikeroyok. Sepucuk belati keluar dari tangan dan menjajal menhujamkannya ke tubuh Rudi. Tangan Anton menangkis dan tak sengaja menusuk dada seseorang dari kawanan. Satu preman mati.
Polisi tiba mengintrogasi. Mereka ditangkap alasannya sidik jari Anton melekat dalam belati. Beragam alasan yang merek kemukakan. Tapi nyatanya sia-sia. Menjadi sosok selaku pengamen dan hidup di jalanan telah mencap mereka selaku sosok yang begitu dengan kriminalitas. Status mahasiswa tak menguatkan alasan-alasan yang mengendorkan mereka. Dan inilah sebuah realita yang mesti dihadapinya.
Semua dijadikan tersangka. Dan Anton yaitu selaku tersangka utama. Lebih buruk lagi, pihak kampus dengan hukum yang ada sudah menjatuhan vonis drop out apalagi dulu. Hal ini untuk menjaga nama baik kampus. Kini mereka mendekam di penjara. Dingin, kotor, sumpek memenuhi segala situasi. Harapan menjangkau cita selaku sarjana sudah pupus. Namun ini semua belum sepenuhnya pupus, mungkin hanya tertunda saja. Mereka yakin bahwa dewa itu adil. Entah hingga kapan mereka harus menjalani keterpurukan ini. Hanya waktu yang akan menjawab.
Surakarta, 29 Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)