Friday, 15 October 2021

Cerpen


KIRANA
(adh)

Saat pagi berjelajah dengan sejuk embunnya. Ku mulai membuka sayup mataku setelah lelah bergelanyut dengan mimpi semalam. Sandaran tubuhku masih merelakan dirinya untuk menemaniku. Menemani rasa malas untuk beranjak darinya. Selimut berwarna biru bau tanah masih melekat menutupi sejengkal tubuhku yang kedinginan. Dingin pagi ini benar-benar merajam kulitku hingga menusuk ke dalam sendi-sendi tulang. Aku memutar pandangku menjelajah situasi sekitarku. Mataku tertuju pada suatu jendela tanpa tirai yang kacanya terlapis embun. Menetes membentuk sebuah alur yang estetis. Aku menggeliat melemaskan rajutan ototku yang telah beristirahat kaku semalaman. Kini mulai ku rasakan setitik kesegaran dalam tubuhku.
Waktu menunjukkkan pukul 05.30. Rasanya malas sekali untuk bangun sepagi ini di hari ahad. Aku cuma melewatkan waktu dengan berhayal sampai rasa malasku hilang dan beranjak dari tempat tidur. Walau bekerjsama rasa kantuk telah menghilang dari sudut pelupuk mataku.
Semburat cahaya mentari mulai masuk ke dalam kamar melalui jendela. Mencoba menunjukkan hangatnya untuk mulai menenun dongeng hari ini. Kilau dan hangatnya mengusir embun yang menuang butiran rasa hambar. Mataku tersilaukan olehnya. Benar-benar pagi yang cerah. Burung-burung terdengar menyanyikan lewat alunan merdunya. Membentuk suatu suasana yang indah dan serasi. Tiba-datang terdengar lagu “Risalah Hati” milik Dewa 19 yang ialah nada panggil untuk handphoneku. Tanpa menunggu lama aku mengambilnya. Terlihat suatu nama di layar. “Kirana”.
“Hallo Jelek! Udah berdiri? Biasanya jam sepuluh kamu baru bangkit! Sikat gigi sana, anyir mulutmu sampai ke sini tau.” Terdengar bunyi Kirana mengawali percakapan dari handphone.
“Uuuhhh kau yang buruk, pagi-pagi gini udah telepon, emangnya ada apa Jelek?
“Begini, kamu hari ini ada acara nggak?”
“Ya tentu saja ada program, malah aneka macam acara hari ini, pokoknya sibuk banget, ya biasalah hari minggu gini jatahnya buat bersibuk ria dengan tidur”
“Ooo dasar kamu Jelek! Kerjaannya molor melulu”
“Kan dalam kurun perkembangan, he…he….he…! iya aku nggak ada acara hari ini.”
“ Bisa nggak nemenin saya ke pantai hari ini. Ya agak sorean aja semoga kita bisa menikmati sunset”
“ Ya dech demi kau buruk! Sekitar jam tiga saya jemput di rumahmu!”
“Key, makasih ya buruk…! Hwee…..! daaaah….ampe ketemu ntar sore.”
Kirana mentutup teleponnya. Memang ia manja sekali denganku. Kita sering saling ejek. Aku dan dia sering mengundang dengan istilah “Jelek”. Kita telah sangat akrab sekali ibarat seorang abang dan adik. Ya, memang saya tak menganggapnya sebagai teman kuliah atau sahabat dekat lagi, tetapi aku menganggapnya selaku adikku sendiri. Canda cerianya selalu mewarnai hari-hariku kalau saya sedang bersamanya. Dia penduduknya seringkali jutek tetapi sarat perhatian terhadapku.
Minggu siang terasa sungguh panas. Serasa hendak memecahkan kepala. Ibu menyuruhku mengantarkannya untuk arisan di rumah temannya. Sebenarnya ayah yang akan mengantarkannya, tetapi dia ada keperluan dengan rekan usahanya. Sudah sekitar jam dua lebih saya mengirimkan ibuku. Agak terburu-buru aku mengendarai Vespaku. Akhirnya hingga juga di tujuan. Aku langsung menuju rumah Kirana. Aku membawa Vespaku lebih cepat. Aku takut bila terlambat. Pasti Kirana akan murka dan ngomel tak karuan jikalau aku terlambat. Dengan kecepatan yang tinggi vespaku meluncur di atas aspal yang ramai dengan kendaraan.
Tepat jam tiga aku telah berada di rumahnya. Aku sudah sering ke rumahnya. Keluarganya juga ramah terhadapku. Mereka bahagia bila aku bermain ke tempat tinggal Kirana. Aku telah dianggap keluarganya sendiri. Maka tidak heran jika aku di sana terkesan agak bebas. Walaupun begitu aku masih tahu batas, akhlak dan norma yang berlaku.
Hal yang tak kusadari adalah tak mirip biasanya Kirana mengajakku keluar. Baru kali ini dia mengajakku keluar. Sebaliknya justru saya yang sering mengajaknya keluar. Entah itu kepantai, bioskop atau sekedar berkeliling kota. Aku sering curhat dengan dia ihwal persoalan-dilema yang aku hadapi. Entah itu tentang sekolah, keluarga dan problem eksklusif sekalipun. Kirana jarang sekali terbuka denganku. Ia seperti memendam sebuah problem yang ada pada dirinya. Aku sering bertanya padanya, tetapi candanya senantiasa dia gunakan menjadi senjata untuk membendung pertanyaanku itu. Aku tak berpikir macam-macam padanya alasannya adalah intinya aku mempunyai sifat yang dingin.
Aku menunggu Kirana di ruang tamu sambil menonton televisi. Jeda beberapa detik aku menanti, Kirana sudah timbul di tangga dari lantai dua rumahnya. Kulihat Kirana sudah rapi. Ia terlihat cantik dan elok. Di balik keanggunan dan kecantikannya, aku sering melihat kelopak matanya pucat. Namun semua itu bisa tertutupi oleh wajahnya yang senantiasa ceria. Pernah saya menanyakan ihwal hal tersebut. Dia hanya menjawab, “mungkin kurang tidur saja”. Aku pun tak menghiraukan persoalan tersebut. Setelah berpamitan dengan orang tuanya, kami pun berangkat.
Satu jam perjalanan, kita sudah sampai di pantai dengan Vespa biru kesayanganku. Entah kenapa saya sungguh sayang dengan Vespaku ini. Ayahku sudah beberapa kali ingin menawariku sepeda gres yang lagi modif kini ini. Namun aku masih setia dengan Vespa biruku ini untuk selalu mengantarkanku kemana saja saya pergi.
Langit tampak biru dengan lukisan awan yang makin memperindah singgasana langit. Burung camar berkejaran di atas derai ombak samudera. Aku dan Kirana duduk di bawah nyiur yang melambai-lambaikan daunnya alasannya adalah terhempas sang bayu. Berdua duduk berdekatan menikmati indahnya pantai di selingi dongeng yang terlantun dari benak kita.
Panjang lebar kita bercerita. Mencoba menandingi riuh bunyi ombak dengan lautan kisah. Hingga datang saatnya Kirana berbicara dengan lembut di bibirnya.
“ Aku mencintaimu” Sambil bibir tipisnya merayap dengan cepat di bibirku.
Aku terkejut dan posisi dudukku agak bergeser darinya. Aku kaget mendengarnya. Aku menjajal berkata, tetapi dengan gesit jari telunjuknya menutup mulutku.
“ Aku mencintaimu. Aku tahu di hatimua ada cewek lain. Tapi memang beginilah rasaku kepadamu. Aku percaya kamu hanya menganggapku sebagi sahabat atau adikmu semata. Aku cuma ingin berterus jelas padamu, alasannya saya takut kekurangan masa hidupku. Aku menderita kanker darah. Dokter telah memvonis hidupku tinggal satu bulan lagi. Aku takut rasa ini cuma terpendam dalam hati hingga simpulan napasku nanti. Kau “Jelek”! Aku sayang padamu”. Air mata Kirana meleleh membasahi pipinya.
Bagai tersambar petir di siang hari aku mendengarnya.
“Kirana” Aku memanggilnya dengan rasa belum percaya. Satu tahun semenjak saya mengenalnya, dia dengan rapat menyembunyikan diam-diam perihal penyakitnya. Keluarganya pun tidak pernah memberitahuku. Aku tak dapat berkata apa-apa. Apalagi ternyata dia mencintaiku. Suatu hal yang tak pernah terbayangkan dalam benakku.
Tiba-tiba angin berhembus kencang. Menggoyang nyiur di sekitar pantai itu dengan kerasnya. Suatu hal yang tak terduga terjadi. Sebuah kelapa dengan ukuran tidak mengecewakan besar jatuh dan perihal tepat kepala Kirana. Darah pun mengucur dengan segera. Aku segera menangkap tubuhnya dalam pelukanku. Kirana menghembuskan napas terakhirnya. Jerit tangis membahana dari sudut jiwaku.
Ternyata Tuhan berkehendak lain. Kirana dijemput-Nya lebih permulaan dan dengan menyedihkan tepat di depan mata dan pelukanku sendiri. Dan inilah hari terakhirku bareng Kirana di dunia ini. Tak ada lagi kini, tawa cerianya dan ucapan lembut yang memanggilku “Jelek”.


Sent your coments to :adh_saraz@yahoo.co.id



NYANYIAN PANTAI
(adh)

Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu mesti melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai cenderung ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat persepsi merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah bertentangan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, tetapi dia tetap melantunkan iramanya. Tak terusik tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya tampakmenikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan situasi pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak kerap kali menyela lagu yang masuk ke indera pendengaran Ale. Semua tak mampu mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling memandang. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, beliau memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale cuma memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan jelas-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kejenuhan menikmati lepas pantai tersebut, tetapi kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan dongeng-cerita kemudian menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di kala itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-dongeng kocak kala akil balig cukup akal. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling melakukan pekerjaan sama untuk mencontoh sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka seluruhnya.
Bibir Alisa masih melantunkan dongeng-dongeng kala kemudian. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bareng riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka cuma bercerita ihwal kehidupan sosialnya. Tak pernah timbul di antara dongeng mereka tentang cerita cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa gila.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari kian meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak menciptakan anggapan Ale mengolahnya menjadi sungguh-sungguh aktual. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada suatu pengungkapan dan kepastian. Tak ada dongeng kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita mencicipi hal yang serupa dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab cuma dengan membisu. Tanpa pengungkapan. Diam dan diam dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisihkan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa relevansinya dengan Alisa begitu erat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa terkadang berkeyakinan mereka sudah menjadi sepasang kekasih. Semua itu cuma bunyi angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu aktual. Ke mana-mana selalu bareng . Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bantu-membantu. Rasa tak mengikatnya atau memang belum datang waktunya.
Angan Ale terbang menembus alam pikirnya. Ia berpikir bila Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu wacana sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak berlawanan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menggemari sifat-sifat yang berlawanan dengannya itu. Tiba-datang pikirannya membentuk suatu pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bareng dengan Ita. Serasa semua persoalan itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan menanggapi suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang alasannya hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya bangun. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa kerap kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berlangsung berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor belibis biru yang senantiasa mengawalAle ke mana saja dia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak terlihat sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, tetapi mereka berboncengan dengan pelukan yang dekat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan sering kali berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun kian jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan lembap kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil sebab kedinginan. Hempasan angin tak jarang menciptakan tubuh yang tak menggunakan jaket itu makin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu melekat di dada Ale dengan perlindungan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengirim Alisa hingga depan rumahnya. Ia tidak mampir dan eksklusif pamit untuk pulang. Saat beliau berpamitan dan melakukan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan dibarengi senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di pojok jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa gundah. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di segi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa senantiasa mendatangkan cerita-cerita yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bareng Ita, beliau hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale menjangkau selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.