Saturday, 2 October 2021

Chairil Dan Bahasa Individualistis

Jejak kepenyairan Chairil Anwar meninggalkan catatan penting dalam sejarah sastra Indonesi Chairil dan Bahasa Individualistis
Jejak kepenyairan Chairil Anwar meninggalkan catatan penting dalam sejarah sastra Indonesia. Tanggal 28 April yang ialah tanggal wafat Chairil Anwar dijadikan sebagai perayaan hari puisi. Bulan April pun disebut selaku Bulan Chairil atau Bulan Puisi.

Chairil Anwar memakai bahasa sebagai pendobrak kemajuan sastra Indonesia. Dalam menciptakan puisi, Chairil mulai melunturkan bahasa ungkap dari angkatan sebelumnya adalah Pujangga Baru. Pada angkatan Pujangga Baru, puisi masih terikat dengan hukum lama mirip penggunaan baku pada bait, rima maupun bunyi. Chairil mulai melepaskan ikatan itu dalam menciptakan suatu puisi. Chairil memiliki ciri khas dan lebih bebas dalam mengolah bahasa puisi sehingga ia diketahui sebagai penyair yang menjadi tonggak pertumbuhan sastra Indonesia. Dengan ciri khas gaya bahasa yang dimilikinya, Chairil Anwar disebut selaku penggerak angkatan ‘45.

Bahasa yang digunakan Chairil dalam puisi-puisinya merepresentasi sebagian besar kehidupannya. Ketika Chairil didera penyakit yang hendak merenggang nyawanya, bahasa puisi Chairil memberikan suatu optimisme dan semangat hidup yang menggelora. Potongan larik puisinya, mirip ”saya ini binatang jalang”, ”aku mau hidup seribu tahun lagi”, ”hidup cuma menunda kekalahan”, atau ”sekali bermakna, sudah itu mati” mencerminkan semangat hidup yang ada pada dirinya.

Selain itu, Chairil menggunakan bahasa yang berapi-api dalam merepresentasikan kehidupan yang terjadi pada dikala itu, yakni kurun perjuangan kemerdekaan. Bahasa yang berani dan berapi-api dituangkan Chairil dalam puisi-puisinya yang berjudul Diponegoro, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno dan lain-lain.

Gaya bahasa Chairil dalam menulis puisi juga mencerminkan sentimentalitas dan individualistiknya dalam menghadapi ujian hidup. Ia menuliskan puisi berjudul Nisan selaku perumpamaan kesedihan saat neneknya meninggal. Nuansa religius juga tertangkap dari beberapa puisi Chairil. Dalam puisinya yang berjudul Doa, Chairil tidak mampu berpaling dari Tuhannya dan menyerahkan sepenuh hidupnya kepada Tuhan. Begitu pula dengan puisi Cintaku Jauh di Pulau, Chairil menganalogikan bahwa ajal telah akan menjemputnya, namun ia merasa masih jauh dengan Tuhan.

dimuat di SOLOPOS, Kamis, 30 April 2009
gambar dari: www.unila.ac.id/ fkip-bhs/images/stories/anwar.bmp