Menelaah Teks Sastra dan Agama
oleh: Andi Dwi Handoko Dunia dalam kata, itulah sastra. Namun pengertian yang mempunyai makna luas ini belum cukup untuk mengungkapkan apa bahwasanya makna atau batasan sastra. Sastra terlalu universal untuk diberi batas pengertian. Tak ada batas-batas yang membuat puas perihal pengertian sastra.
Robert Frost pernah mengungkapkan bahwa sastra ialah pentasdalam kata (a performance in words). Jadi kata-kata tersebut dibentuk oleh pengarang menjadi suatu agresi dan menimbulkan reaksi bagi setiap orang yang membaca dan mengapresiasikannya. Di sini pengarang telah memodifikasi kata menjadi sebuah makna yang berujar lepas bebas menjadi sebuah kesatuan yang lepas dari pengarang.
Pengarang tak lagi menyatu dalam karyanya. Yang ada hanyalah karya itu bersumber dari pengarang. Jika ada sebuah karya yang menjadikan keharuan pembaca, belum tentu pengarang yang menciptakan karya tersebut bergotong-royong juga mengalami apa mirip yang diceritakan dalam karyanya. Pengarang bebas untuk bermain-main dengan imaginasi yang mengalir dalam benak pikirnya.
Sastra telah menyelami segala denyut nadi kehidupan insan. Dari mulai manusia mampu berbahasa, sastra telah menjadi kuliner yang siap dimakan. Adapun salah satu acuan yaitu cerita-cerita dari bunda untuk melelapkan anak-anaknya. Cerita-dongeng bergenre fable, mite maupun sage, itu yakni macam-macam karya sastra. Makara sastra telah melingkungi dunia insan. Seiring jejak waktu sastra sudah memberikan beberapa dampak kepada kehidupan manusia sebab pengaruh sastra memang sangat terperinci terasa.
Sastra dapat dijadikan objek untuk mengungakapkan segala rasa. Pengungkapan jiwa yang paling dalam pun dapat tersalur melalui sastra. Sastra bisa menyepuh kegalauan dan kekejaman dunia atas perlakuan manusia yang tak bertanggung jawab. Hanya dengan perunjukan kata sastra dapat mengungkapkan suatu kebenaran yang mungkin susah terjawab hanya dengan cara yang umum.
Tingkatan kebudayaan manusia lahir dari bagaimana insan itu bertindak, secara batiniah maupun lahiriah. Adanya faktor-aspek rohani menuntut manusia untuk menyelami sebuah pedoman dogma yang mereka sebut sebagai agama. Agama disanjung sebagai suatu doktrin yang bisa merubah peradaban manusia di dunia. Sebagai tolok ukur yang nyata adalah sebagian besar manusia di segala penjuru dunia mempunyai agama.
Sekulerisme sudah dikerjakan, tetapi kebebasasan itu tak sepenuhnya membuat manusia untuk tak beragama sebab beragama ialah tuntutan batin untuk mencari cahaya kedamaian. Agama telah bisa menemani hokum etika, mendidik tunas muda, mengajarkan kearifan, kebajikan, ketenangan, ketekunan dan sebagainya. Sejalan dengan fungsinya, agama bertindak sebagai aspek kreatif dan dinamis, perangsang atau pemberi makna kehidupan yang bahwasanya. Melalui agama, kita mampu mempertahankan keutuhan masyarakat dan menuntun umat untuk menjangkau abad depan yang cerah dan lebih baik.
Kebenaran mutlak
Agama bersumber dari Maha hakiki pencipta alam semesta. Agama dianut untuk mengatur bagaimana cara hidup yang tepat dengan norma-norma yang ada dalam agama tersebut dan untuk menuntun jalan insan menapak kehidupan sesudah mati.Kebenaran mutlak bersifat tetap, tak terpengaruh oleh suasana dan kondisi. Kebenaran ada karena memang terbukti dengan klarifikasi-klarifikasi yang empiris dan faktual. Kebenaran mewakili tujuan utama setiap berita yang diserap dan diterima oleh manusia. Semua hal berorientasi pada sebuah kebenaran, entah itu kebenaran yang bersifat kasatmata atau absurd.
Hubungan timbal balik antara sastra, agama dan kebenaran terang ada keberadaannya. Sastra dan agama masing-masing mempunyai sebuah kebenaran. Kedua-duanya memiliki kebenaran yang bersifat abstrak. Suatu teks sastra menjadi sebuah kebenaran dikala ia telah menjadi satu kesatuan yang utuh yakni karya sastra. Karya sastra itu bangun sendiri dan menyajikan suatu kebenaran menurut alur dan jalan kisah sastra itu sendiri. Jika sebuah karya sastra dikaji dengan kebenaran yang terjadi di kehidupan nyata maka yang terjadi yaitu suatu pendistorsian kebenaran. Belum pasti apa yang disuguhkan suatu karya sastra benar atau relevan dengan kehidupan sehari-hari jika itu dihubungankan dengan kebenaran di kehidupan nyata.
Lain halnya jikalau karya sastra itu memang dikaji cuma selaku karya sastra yang utuh tanpa dihubungkan dengan keadaan di luar. Karya sastra tersebut akan menampung sebuah kebenaran yang tak akan terpengaruh oleh bagian-unsur dari luar. Walaupun begitu sastra mesti memiliki kajian nilai yang mewakili sebuah kebenaran. Karya-karya yang bersifat imaginer dan absurb memang kadang kala sukar untuk memperoleh nilai yang terkandung di dalamnya tetapi tetap saja ada nilai yang tersirat di dalamnya. Nilai-nilai yang muncul dalam karya sastra itulah yang mewakili kebenaran suatu karya sastra.
Selanjutnya yaitu kebenaran dari sebuah agama. Agama lahir dari suatu doktrin dan rasionalitas serta cara berpikir insan untuk memilih jalan hidupnya. Selanjutnya yang membedakan sastra dan agama ialah kebenaran agama adalah kebenaran iktikad dan sastra ialah kebenaran imaginasi. Jika ditelaah lebih lanjut lewat sebuah tingkatan yang kecil, teks sastra dan teks agama memiliki sebuah persamaan yakni keduanya sama-sama bentuk bahasa yang estetis baik dari sisi bahasa tulis maupun verbal.
Dapat ditarik kesimpulan asal mula agama yaitu Tuhan atau firman Tuhan, sedangkan asal mula sastra yakni kata-kata dari pengarang yang ialah daya imaginasi atau pengalaman positif. Seorang pembaca sastra bebas menganggap tidak hanya keindahan sastranya namun juga menilai kebenaran sastranya. Sastra berasal dari intuisi, perasaan dan pikiran seorang insan, dan sedikit banyaknya akan menjamah perasaan dan pikiran pembacanya juga. Interaksi dan penjiwaan insan dalam menggauli sastra akan mempengaruhi jalan jiwanya.
Sastra bisa mengubah psikologis pembacanya. Maka dulu pernah timbul perumpamaan Psichopoetry atau ungkapan lainnya ialah terapi lewat puisi. Dampak-efek mirip ini akan diarahkan agama selaku doktrin yang hakiki. Jadi sastra, agama, dan kebenaran yaitu suatu kaitan yang sulit untuk dilepaskan keberadaannya.
Dimuat di Solopos, Minggu 20 Januari 2008