Wednesday, 13 October 2021

Puisi Lagi

Persetubuhan Malam

Suara pelan mengalun
berbisik pada malam yang mengaduh
menelusup ke setiap telinga bergulat remang
Perawan yang tak lagi perawan
Cantik yang tak lagi bagus
begitu tampak gemulai
membuat semacam tarian anjing
melenguh keras hingga dahan purba pun patah
bahkan suara jangkrik berderik
mampu menelanjangi pusara malam
Tak sadar malam menggerayangi
badan perawan yang tak lagi perawan
tampang cantik yang tak lagi manis
dan seusai pagi
busuk ikan asin menyambut sinar mentari
menjajal masuk melalui sela-sela
kamar kumal di tengah kota

Dalam Lemah Malam

Dalam lemah malam
paku-paku menembus jantung manusia terlelap
memberikan nisan dalam bujur kaki lemah
tak besar lengan berkuasa menahan tangis
sampai ranjang berderit berubah menjadi keranda
suara derak dahan patah
terkulai lembut ke setiap indera pendengaran malaikat
merajam matanya yang merah
dan berubah sosok iblis berbadan putih
berselendang kafan dari sutera
membelah malam dengan sayap melebar
mendesingkan peluru merah tembaga
jatuh sempurna di atas ubun-ubun senja
berkarat risikonya sekarat
tertimbun tanah tak lagi bersekat
dan dalam lemah malam
manusia-insan kabur dalam keremangan
terbujur lemah di bawah desingan peluru panas
serta dalam lemah malam
timbul iblis berbadan putih
yang mengaku malaikat bermata merah…


Bianglala Reformasi

Lelaki bau tanah tanpa kaca mata
Diam Memandang sawah puso
Kemudian mengajukan pertanyaan pada jerami-jerami
Inikah akhir reformasi?
Ketika pupuk beranjak naik
Hasil panen meringkuk di kolong tempat tidur
Petani pun berselimut kelaparan tidur di atas jerami
Lelaki itu masih diam
Mencoba mengejawantahkan reformasi
Terus berpikir merenung dalam gejolak pikiran kosong
Mata tampakmerah berduka maya
Nanar menatap sawah puso berkembang menjadi rakasasa
Kemudian menelannya ke sebuah lembah
Yang di sebut orang-orang selaku lembah reformasi masa lalu
Ia sekarang tertidur dalam waktu tak lain dari dahulu
Kembali ke kurun lalu
Kakinya beranjak bangun dan bergumam
“Apa guna reformasi?!!!”


Menunggu Purnama


Purnama telah usai
Namun kamu masih berzig-zag melantunkan kidung asmarandana
Di atas rerumputan sehabis berperang kelaparan
Kau buat kaki-kakimu menyilang
Mengapit kerikil batu pada semak kekuasaan
Sesuai iramamu
Tubuhmu bergolek menantang zaman
Tak tahu apa yang gres sadar
Kau membuka ketidakadilan di depan matamu
Kemudian kembali
Mengapit batu watu pada semak kekuasaan
Melemparnya ke dalam pasir waktu
Larut dan karam menjadi pusara akhir hayat
Kau lewati risalah pada nisannya
Bahwa kamu masih memerintahkan liliput di depanmu
Untuk tetap menunggu purnama


Puisi "Bianglala Reformasi" dan "Menunggu Purnama" dimuat di Solopos Minggu, 17 Agustus 2008.