Akhir Februari lalu, suatu pementasan digelar di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah. Pementasan dengan lakon Syeh Siti Jenar karya Vredi Kastam Marta yang digarap oleh sutradara mumpuni Gigok Anurogo sudah mengundang banyak penonton. Ketika pementasan akan dimulai, terlihat puluhan penonton tampak berjejalan masuk ke dalam ruang teater. Hal ini seperti fenomena penonton yang akan menyaksikan konser pertunjukkan musik dengan grup band terkemuka. Mungkin penonton tersihir dengan judul pementasan ini, yakni Syeh Siti Jenar.
Syeh Siti Jenar sendiri merupakan sosok fenomenal dalam sejarah islam kejawen. Ajarannya sudah menciptakan sebuah polemik yang menyebabakan pro dan kontra. Pemikiran dalam diri penonton sebelum menonton pementasan mungkin akan diberi gambaran yang jelas wacana sosok Syeh Siti Jenar dengan fatwa-ajarannya. Namun pementasan itu ternyata dihidangkan dengan gaya yang berat. Menggabungkan antara realis dan surealis. Naskah yang bersifat serius digarap dengan serius. Akhirnya menjadi suatu pementasan yang serius. Gambaran penonton perihal Syeh Siti Jenar mulai samar dengan pemunculan tokoh-tokoh yang abstrak seperti Sunyi, Maut, Waktu dan Yang Bukan Engkau. Saya percaya bila penonton belum memiliki acuan ihwal sosok Syeh Siti Jenar akan sulit mencerna isi dari pementasan tersebut. Deskripsi pementasan dimulai dari situasi sebuah latihan yang dikerjakan oelh para santri Syeh Siti Jenar. Mungkin hal ini dibutuhkan oleh Sutradara selaku gambaran permulaan situasi jawa pada kurun dahulu saat Islam mulai berkembang di jawa.
Namun setelah itu citra itu menjadi pudar dengan munculnya sosok Syeh Siti Jenar dengan citra budbahasa yang keras. Bisa dikatakan dia sungguh berwibawa dengan pakaian jawa tradisional yang dipakainya, tetapi citra moral yang keras dan gaya bicara yang berat, hal itu menciptakan situasi njawani agak luntur. Pasalnya tokoh Syeh Siti Jenar dalam persepsi umum ialah sosok yang merakyat, dan kita mampu tahu sendiri sosok yang bersifat merakyat adalah sosok yang loyal dan gaya bicaranya teduh mengayomi. Gaya bicara tokoh metafora seperti Sunyi, Maut, Waktu dan Yang Bukan Engkau lebih menekankan ke arah gaya deklamasi puisi.
Hal ini yakni sebuah kewajaran sebab tokoh-tokoh tersebut memang bergaya absurd. Namun kesudahannya pendeklamasian ini berakibat pada sebuah problem yang membuat penonton tak bisa memahaminya. Teks obrolan yang berat dideklamasi dengan komposisi gerak badan. Hal ini menjebak penonton ke dalam suatu ketentraman menikmati adegan deklamasi dan pada balasannya membuyarkan konsentrasi untuk memahami obrolan. Humor ialah fragmen yang senantiasa hadir dalam suatu pementasan teater., bahkan pada lakon berat sekalipun. Adegan humor mampu meminimalkan risiko penonton yang capek mencerna makna pementasan. Adegan humor juga bisa diselipi dengan pemaknaan ringan yang mampu menciptakan jalan pencerahan bagi penonton. Makna dan pesan utama dari suatu pementasan pun mampu dimasukkan ke dalam adegan humor. Syeh Siti Jenar juga mengupas beberapa pesan lakon dengan humor. Hal itu dapat dilihat ketika delegasi kerajaan memangggil Syeh Siti Jenar untuk menghadap Sultan.
Di sana terjadi percakapan yang bolak-balik yang menghadirkan kesan lucu. Syeh Siti Jenar berkata “Aku Tuhan, bukan Syeh Siti Jenar”, Aku Syeh Siti Jenar, bukan Tuhan”, begitu seterusnya. Dari obrolan yang demikian, pesan Syeh Siti Jenar yang mengajarkan “Manunggaling kawula Gusti” pun tersampaikan dengan ringan. Sebenarnya pementasan Syeh Siti Jenar akan menjadi sebuah topik yang menawan jika dibahas dalam sebuah ruang kritis. Akan tetapi sesudah pementasan, penonton mampu mempesona dirinya sendiri untuk keluar dari dunia pementasan tersebut. Mungkin saja, ada beberapa penonton yang membuat ruang kritis pada dirinya sendiri, bertanya pada diri sendiri dan tak ada tanggapan hingga menimbulkan sebuah bentuk kekhawatiran atas pementasan tersebut. Ruang kritis pun mungkin terjadi pada sebuah obrolan-obrolan singkat di angkringan atau SMS sekalipun.
Agaknya ruang kritis perlu digalakkan untuk menjawab semua bentuk kekhawatiran dalam berteater. Entah itu dalam bentuk goresan pena maupun verbal yang terangkum dalam suatu ruang. Dan kita perlu untuk mewujudkannya supaya kritik tak lagi kesepian sebab ditinggal para kritikus.