Friday, 1 October 2021

Poem

Ingatan Sebuah Rumah lama
kabarmu jauh lepas
di antara pandangan mata yang kau lihat di cermin
uban-uban putih
menggigilkan pagi kita yang buta
bunyi
kita jadi kerikil-kerikil
acak-acakan dalam masa yang purba
sedang saya kau masih mengenang
jalan-jalan setapak yang pernah dilalui
menjelma jalan-jalan ibu kota tak pernah tidur
asap-asap tak pernah berhenti
menggempur kepingan napas sudut kota
gerimis tipis seolah tangis teduh air mata
banjir menyanggupi rumah lama
kau tata dingklik meja yang patah di pelataran senja
lukisan-lukisan dengan cat mengelupas
satu-satunya harta rumah usang
dan cuma jejak-jejak di jalan setapak
jalan pulang ke rumah itu
saya yang melupa
kamu yang tidur
tak ingat lagi
jejak-jejak hilang
terhapus ruang kota yang beringas
Solo, 02’05’09.


Kabar Kawan Lama

Kita saling berkabar perihal rumah-rumah kampung yang tak lagi mempunyai halaman kawasan kita bermain dulu
Suara-suara jangkrik di tengah malam yang menandai perburuan kita di kala lampau hilang berganti lagu-lagu dengan tangga nada dan birama yang tak kita pahami
Nyanyian burung hantu dan kepakan kelelawar di malam hari menjadi sebuah kesunyian yang mati
Kita mulai bercerita sehabis usang berpisah dengan tanda-tanda yang panjang di kalender kehidupan
Angka-angka yang mengkalkulasikan usia kita berbaris rapi menjadi sebuah bayangan yang mengikuti kita dari belakang
Musim selalu berubah seolah tak ada jeda untuk mereka
Jalan setapak yang menandai jejak kaki kita di animo yang kemudian hanya menjadi sebuah pondasi jalan raya yang mulai berlubang tertusuk hujan yang tak lagi gerimis
Hujan menyimpan beratus-ratus ingatan yang menciptakan tubuh kita lembap kuyup
Di antara baris hujan yang menjadi gerimis kita tak lagi mendengar nyanyian katak sehabis merayakan pesta persenggamaan di tepi kali dan kolam
Entah sudah berapa usang mereka bermigrasi alasannya adalah kampung kita sudah tak tenteram untuk daerah mereka beranak-pinak.
Kita yang mulai jenuh pada jelaga asap mesin-mesin tak mampu mengatakan dengan cerita-kisah abad lampau yang menciptakan kita pernah senang
Hanya tersisa belum dewasa kita yang tak lagi mengenal demam isu tanam dan bau lumpur yang begitu harum.
Solo, 17’05’09

Tubuh Batu
saya badan kerikil yang bersembunyi di antara pasir kali
air meresap membasahi telanjang tubuhku yang kedinginan
senantiasa sembunyi kepada sebuah kenyataan bahwa tubuhku yakni watu
banjir menenggelamkanku pada sebuah ruang yang ganjil
bagian tubuhku terhempas ke sebuah arah yang abstrak
Tak lagi mampu berucap walau sepatah kata
Aku menjadi sunyi
Seperti tubuhku yang keras
Aku tak lagi mendengar
Jeritan riak air yang membawaku lepas ke dalam labirin pekat
Lumpur-lumpur menyeret pasir dan membenamkan tubuhku
Entah ke dalam dunia antah berantah
Menjadikanku sebuah badan kerikil yang tak lagi mampu berkata atau mendengar
Barangkali kebekuan dan kesunyian
yaitu tempat terindah bagi tubuhku yang kaku
Solo, 17’05’09