Monday, 4 October 2021

Resensi Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika

 Novel yang merupakan pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun  Resensi Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika
Belajar perihal Pilihan Hidup

Judul Buku : Dadaisme
Penulis : Dewi Sartika
Penerbit : PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Cetakan : Kedua, 2006
Tebal Buku : 264 halaman

Novel yang merupakan pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 ini digarap dengan tema yang unik. Tidak seperti novel-novel pemenang lainnya yang umum menggaungkan tema gender, kritik sosial, percintaan, keluarga dan lainnya. Novel ini secara lazim lebih mengarah kepada tema psikologis, mistik dan filsafat. Walau demikian, bukan berarti novel ini tdak membahas gender, keluarga, kritik sosial atau pun percintaan. Tema-tema tersebut masih tetap di bahas dalam novel ini, namun penggarapannya tidak secara mendalam, hanya selaku bumbu dan bingkai kisah.

Penggarapan novel ini dibuat menjadi beberapa fragmen/bab. Ada dua puluh dua fragmentergolong epilogdalam novel ini. Penggarapan setiap fragmen pun sungguh unik. Novel ini digarap dengan alur yang kronologis. Namun setiap fragmen tidak selalu bersambung dengan fragmen yang ada di depannya, tetapi menjadi mirip mozaik-mozaik yang mesti dikaitkan antara fragmen satu dengan fragmen lainnya. Penggunaan sudut pandang setiap fragmen pun senantiasa berbeda-beda. Hal ini mengharuskan pembaca untuk lebih teliti dan fokus untuk memahami kronologi kisah dalam novel ini.

Mungkin pembaca akan kesulitan ketika memilih siapa tokoh utama dalam novel tersebut. Begitu banyak tokoh dalam novel ini. Semua tokoh dalam novel ini seakan-akan bangun sendiri dalam setiap fragmen, namun jikalau dirunut dengan kronologis, semua tokoh dalam novel ini memiliki keterkaitan. Inilah gaya kepengarangan Dewi Sartika dalam Dadaisme. Ia menggarap novel ini dengan gaya yang “kebetulan”. Bahkan Melani Budianta dalam catatana pembaca mengatakan “Jika biasanya sastra serius menghindari unsur kebetulan, Dadaisme justru memanfaatkan kebetulan habis-habisan dalam plotnya dan mengangkatnya menjadi tema, Apakah hidup itu sebuah kebetulan? Apa makna kebetulan itu? Berbagai komponen kebetulan tu saling dibenturkan melalui kekerasan dalam situasi jiwa yang agresif, gila, dan gersang: di situ anak tega membunuh orang bau tanah dan membunuh dirinya sendiri”

Secara keseluruhan isi dongeng, inti atau tokoh utama dalam novel ini ialah Michail, walau secara langkah-langkah, tokoh ini sering tampakpasif. Namun tanpa Michail, Dadaisme akan kehilangan roh kemistikannya. Michail ialah malaikat kecil bersayap satu dan seluruh tubuhnya berwarna hitam kelabu. Michail akan dapat dilihat oleh orang-orang yang mengalami kesedihan yang terlalu dalam. Nedena, seorang gadis kecil yang tidak mampu mengatakan ialah teman Michail. Nedena memiliki hobi menggambar, namun dia tidak suka warna biru, dia tak mpernah menggmbar langit dengan warna biru. Kenapa dia tidak senang warna biru, mampu dikenali kalau membaca seluruh novel ini. Nedena kesudahannya di bawa ke psikiater. Psikiater itu yaitu dr. Aleda. Aleda yaitu istri Asril dan mempunyai madu bernama Tresna. Tresna mempunyai dua anak yang ialah hasil perselingkuhannya dengan pria lain. Anak pertamanya idiot dan anak keduanya berjulukan Yossy yang juga gemar menggambar. Tapi Yossy kemudian mati karena kecelakaan. Yossy pun kenal dengan Michail. Begitu seterusnya, tokoh-tokoh gres selalu bermunculan, namun senantiasa memiliki keterkaitan dengan tokoh-tokoh yang ada sebelumnya.

Nilai filsafat cukup kental menjelang akhir dari novel ini. Hal ini bisa ditangkap dari makna perkataan dari tokoh yang bernama Jing. Hidup dan mati yakni suatu pilihan. Jika seseorang ingin hidup maka beliau mempunyai semangat untuk hidup. Jika beliau memilih mati, itu juga bukan sebuah kesalahan untuknya, alasannya berdasarkan Jing, hidup dan mati yaitu suatu pilihan.

Bahasa dalam novel ini mudah untuk diketahui. Bahasanya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang rumit mirip novel-novel sastra serius yang lain. Akan tetapi novel ini juga memiliki kekurangan yakni penceritaan budpekerti tokoh yang kurang mendetail. Novel ini terlalu fokus pada penggarapan yang “kebetulan” sehingga penceritaan tokohnya kurang mendalam. Pembaca belum begitu mengenali sisi dalam tokoh pertama, tetapi lalu tokoh pertama itu hilang dan digantikan dengan tokoh baru, begitu seterusnya. Jadi dramatisasi tokoh kurang mampu dicicipi.


gambar dari: adiwirasta.blogspot.com