Sunday, 3 October 2021

Sastra, Alam Dan Tanda

 menempatkan bahasa pada ranah terpenting dalam pemunculan aspek estetis Sastra, Alam dan Tanda
Sastra sebagai seni, menempatkan bahasa pada ranah paling penting dalam pemunculan aspek estetis. Sastra menggabungkan bunyi, rima, gaya bahasa dan komponen penunjang yang yang lain sampai menjadi suatu perpaduan yang penuhmakna, estetika bahkan akhlak. Plato membuat semacam rumusan bahwa seni adalah hasil tiruan alam, tak terkecuali dengan sastra. Rumusan ini menghasilan rancangan pendekatan sastra yakni mimetik. Alam menjadi titik tolak bahasa menjadi sastra. Sastra terikat konvensi dan alam yakni salah satu bagian yang membentuk konvensi.

Alam memiliki tanda yang disebut selaku tanda-tanda alam. Dapat dicermati di lingkungan sekitar, ada hujan, petir, pelangi, asap, air, angin, pohon, dan lainnya yaitu tanda-tanda alam. Dalam sastra, penggunaan tanda-tanda alam selaku objek pembangun dalam karya sastra nyaris selalu muncul. Alam yang paling dekat dengan manusia dan insan tidak dapat berlari dari alam. Alam banyak dipakai dalam bahasa sastra selaku tanda. Tanda dalam suatu makna.

Bahasa sastra tidak menjadi lugas alasannya adalah bersifat implisit. Implikatur dalam sastra terasa sangat kental dan bahkan sering diwujudkan dengan suatu analogi yang keluar dari sebuah kewajaran. Bahasa sastra juga dibangun dengan gejala. Tanda mempunyai dua aspek adalah penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda ialah yang menandai dan petanda adalah yang ditandai.

Peirce (dalam Baryadi, 2007:49) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga ciri adalah, merepresentasikan sesuatu, bersifat interpretatif dan sesuatu yang dijadikan tanda memiliki sebuah dasar. Tanda-tanda dalam kawasan sastra mempunyai sebuah konteks untuk mengartikannya. Asap mampu mengambarkan adanya api, petir dapat membuktikan hujan, gelap dapat menandakan malam dan sebagainya. Dalam ranah kebudayaan masyarakat secara kontekstual, alam juga merupakan tanda-tanda yang menjadi sebuah kearifan setempat. Adanya hujan dapat mengambarkan banjir, adanya gunung api yang aktif dapat mengambarkan bencana alam berupa letusan gunung dan gempa bumi dan lain-lain.
Gejala alam dalam teks sastra mampu dikatakan merupakan ejawantah tanda. Kata “angin” mempunyai penanda berbentukkata “angin” itu sendiri yang terdiri dari lima karakter dan sebagai petanda “angin” menandai sebuah tata cara suara yang memiliki arti “udara yang bergerak”. Puisi mengeksekusi tanda selaku komponen pokok pembangun tubuhnya. Maka tidak aneh bila banyak orang yang menganalisis puisi terfokus pada gejala yang membangunnya. Tanda-tanda tersebut bersatu dalam suatu metode tanda. Sistem tanda ialah proyeksi sebuah makna dari realita atau yang ditandakan. Sastra dengan tanda-nya bisa menjadi sesuatu yang bermuka dua dengan masing-masing perspektif.

Banyak sastrawan yang memakai tanda-tanda alam selaku salah satu terusan ke dalam suatu khayalan yang estetis dalam karyanya. Sebut saja, Ahmad Tohari yang menerangkan suasana alam yang alami dalam Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan deskripsi panorama alam dan bunyi-bunyi binatang yang terasa sangat alami. Dengan tanda semacam itu, Ahmad Tohari ingin memberikan bahwa latar dukuh paruk memang masih alami dan belum tersentuh modernitas.

Seno Gumira Ajidarma mengagungkan bagian dari fenomena alam ialah senja sebagai tanda. Entah berapa kali senja menghiasi cerpen maupun novel Seno. Dalam cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” senja ditandakan selaku ketulusan dan kebesaran cinta. Senja ialah bentuk pengorbanan dan ketulusan, alasannya untuk mengambil dan menunjukkan senja perlu menghadapi aneka macam macam rintangan. Dan senja itu cuma untuk pacarnya dengan harapan mendapatkan sepotong senja selaku tanda cinta. Tentu saja cerpen ini tidak saja terpaku dengan pembagian terstruktur mengenai di atas. Sastra mempunyai makna yang bersayap. Senja selaku tanda tidak selalu berarti cinta, bisa juga dengan interpretasi lainnya.

Dalam dunia perpuisian, Sapardi Djoko Damono mengambil tanda-tanda alam selaku tanda dalam puisinya. Apa yang dapat ditangkap dari puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono berikut. “Tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon yang berbunga itu/ tak ada yang lebih bijak/ dari hujan bulan Juni/ dihapusnya jejak-jejak kakinya/ yang sangsi di jalan itu/ tak ada yang lebih pintar/ dari hujan bulan Juni/ dibiarkannya yang tak terucapkan/ diserap akar-akar pohon itu.”

Dalam puisi tersebut Sapardi memakai beberapa tanda-tanda alam maupun objek alam sebagai pembangun puisinya. Sebut saja hujan, pohon, bunga dan akar.
Dapat diketahui bahwa bulan Juni ialah satu bulan dari serentetan bulan yang tergolong dalam saat-dikala trend kemarau. Musim kemarau adalah dikala yang semestinya hujan tidak datang. Hujan bulan Juni yaitu hujan yang salah mangsa. Hujan di sini membuktikan sesuatu yang datang tidak pada waktunya.

Hujan mampu diidentikkan dengan cinta. Cinta yang tiba dengan tak seharusnya. Cinta tanpa kata dan tanpa sambutan sebab hanya dirahasiakan di dalam hati (dirahasiakannya rintik rindunya). Karena entah apa karena (tak ada yang lebih bijak), sang pecinta dengan sikap mantap dengan menghapus segala keaguan (jejak-jejak kakinya/ yang bimbang di jalan itu), ia membiarkan cinta itu tak terucapkan (dibiarkannya yang tak terucapkan ) dan cuma menjadi kepingan rasa di dalam hati (diserap akar-akar pohon itu).

Sastra menilai alam dan kebudayaan selaku gejala. Tanda-tanda dalam sastra mewakili suatu kebermaknaan teks. Alam sebagai salah satu objek tanda, merupakan sumber ide yang tak ada habis-habisnya untuk membuat khayalan dan estetika dalam karya sastra.

Solo, 13 April 2009/ 22:30

Andi Dwi Handoko

Rujukan:

I. Praptomo Baryadi. 2007. Teori Ikon Bahasa :Salah Satu Pintu Masuk Ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

Rachmat Djoko Pradopo, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

gambar dari:mardika.890m.com