Sunday, 3 October 2021

Seno, Sukab, Dan Senja

 Mengimani Seno sebagai sosok pembual  memang bukan suatu kekeliruan bahkan kesalahan Seno, Sukab, dan Senja Mengimani Seno selaku sosok pembual memang bukan suatu kekeliruan bahkan kesalahan. Seno hadir selaku sosok sastrawan dengan fisik keras tetapi lembut. Seno mampu melahirkan karya-karya yang mumpuni untuk membuat banyak orang keracunan. Mereka terbuai dengan bualan-bualan yang bergotong-royong hanya suatu hal sepele. Racun yang membuat ketagihan. Seno ialah sebuah perwujudan insan yang penuh ketaknormalan alasannya mampu membuat banyak orang kesengsem dengannya. Tapi dibalik dari bualan-bualannya tersebut terdapat sebuah metafora yang sering kali-kadang membuat suatu yang ironis. Dibalik kata-katanya yang lembut dan bisa dibilang romantis, ternyata sebagian besar isi karya Seno adalah sebuah ejawantah dari kondisi sosial. Kondisi sosial yang pedas tetapi disulap Seno menjadi sebuah yang pintar. Sejak kecil, Seno yang berjulukan lengkap Seno gumira Ajidarma ini berada dalam lingkungan keluarga yang ilmiah. Tapi entah kenapa Seno bisa menawan dirinya dari sebuah dunia yang menurutnya sangat membosankan itu. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada tak mampu berbuat banyak agar menciptakan Seno kembali ke jalur resmi yang telah dibuatnya. Seno berubah menjadi sosok yang pembangkang. Sejak cukup umur beliau di kenal sebagai sampaumur yang selalu membangkang peraturan sekolah. Ia senantiasa menentang aturan-hukum sekolah yang menurutnya sungguh formal dan mengikat kebebasannya. Bahkan beliau pernah minggat dari rumahnya dan berpetualangan ke beberapa daerah, hanya untuk mencari pengalaman yang bebas alasannya beliau terinspirasi pada cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May. Namun alasannya adalah kehabisan duit, dia pun kembali pulang. Ia kembali sekolah. Bukan Seno kalau cuma menurut, dia hanya mau bersekolah di sekolah yang membolehkannya berambut gondrong dan tidak memakai seragam. Sifatnya yang liar membuat imajinasinya juga liar. Konsekuensi keliaran Seno menjadi pedang tajam atas semua karya-karyanya. Pada mulanya Seno meyakini jikalau menjadi seniman adalah fokus pada performa mirip rambut gondrong, hidup santai, dan sak kepenake dewe. Sejurus ia lalu menyadari bahwa tampilan bukan suatu jalan untuk menjadi seorang seniman. Ia harus mempunyai karya untuk menjadi seorang seniman. Ia mulai menulis sejak dia berusia 16 tahun. Setelah itu,beliau mirip air yang mengalir dengan karya-karya yang mumpuni. Seno Gumira Ajidarma yang lahir di Boston tersebut juga mempunyai intelektualitas dalam bidangnya, beliau yakni lulusan Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta, lalu mengmbil S2 ilmu filsafat dan menjangkau gelar doktor dengan disiplin ilmu sastra. Gelar magister dan doktor beliau raih di Universitas Indonesia. Kemunculan sosok Seno dalam kesusastraan Indonesia juga tak lepas dari kedatangan sosok Sukab yang ia munculkan dalam dunianya sendiri. Bisa dibilang, ada Seno pasti ada Sukab. Seolah-olah Sukab adalah interprestasi dari Seno itu sendiri. Namun Seno ialah pencipta Sukab dan Seno selalu membuat Sukab senantiasa direndahkan, dilecehkan dan dihinakan. Jika Seno membuat Sukab seperti itu dan selama ini penduduk berkeyakinana bahwa Seno yakni Sukab, maka hal itu sama saja mengatakan Seno bunuh diri dengan karya-karyanya. Proses kreatif Seno yang sering memunculkan tokoh Sukab dalam karyanya alasannya adalah Seno senang mendengar kata Sukab yang terdengar yummy di pendengaran. Seno menyatakan “Nama itu suka timbul begitu saja setiap kali saya membayangkan sosok “rakyat” yang aku kutip dari suatu tulisan. Seno suka bermain-main dengan Sukab. Seno suka membunuh aksara Sukab. Seno menciptakan tokoh Sukab menjadi absurd. Di beberapa karya Seno yang bertokoh Sukab, Sukab selalu berubah-ganti abjad. Sukab pernah menjadi nama penggiring bola abstrak, Sukab pernah mati, Sukab pernah menjadi pemotong senja, Sukab pernah menjadi remaja tujuh belas tahun, Sukab pernah menjadi tokoh pelengkap yang cuma sekadar numpang lewat saja dan Sukab juga berkembang menjadi dengan karakter-abjad yang lain. Seno suka menciptakan dunianya sendiri menjadi sebuah dunia yang entah tidak dapat diketahui siapapun, tetapi beliau mampu menciptakan dunia itu nyaman untuk ditinggali semua orang. Seno mengasingkan dunia yang sudah ada dan aktual. Seno suka bergulat dengan senja, entah telah berapa ratus kali dia menuliskan senja dalam karya-karyanya. Senja seolah yakni objek yang sarat dengan keindahan. Lihat saja dalam cerpen Seno “Sepotong Senja untuk Pacarku”, dia membuat sebuah cerita yang tidak mampu diterima dengan akal sehat. Bagaimana mampu senja dikemas dengan sebuah kartu pos. Tapi hal itu menjadi mungkin dan masuk nalar bagi Seno. Senja yaitu sebuah pengorbanan besar atas nama cinta. Betapa cinta mengalahkan semuanya. Cinta kadang juga menjadi suatu keegoisan yang begitu besar. Hal ini bisa kita petik dari dongeng Sukab yang memotong senja. Betapa Sukab sungguh egois karena memotong senja, padahal senja yaitu keindahan yang berhak dinikmati jutaan umat di bumi ini. Lihat juga senja dalam cerpen “Tujuan Negeri Senja”. Seno memadukan antara setting konkret dan setting bualan (khayalan). Dua dunia yang berbeda digabung menjadi satu menjadi sebuah dongeng yang tidak masuk masuk logika, tetapi mudah dicerna dan dinikmati. Seno membual dengan keberadaan loket di stasiun Tugu yang menjual karcis untuk menuju Negeri Senja yang kalau orang pergi ke sana niscaya tidak akan mampu kembali lagi. Negeri senja menyerupai suatu surga, semua orang ingin ke sana, namun sesudah di sana, beliau tak bisa kembali lagi ke dalam dunia ini. Bisa dikatakan Seno senantiasa menciptakan suatu repetisi wacana Sukab dan Senja, namun betapa bodohnya kita yang selalu tenteram kalau dicecoki dengan bualan-bualan Seno.