Sunday, 3 October 2021

Surat Pembaca: Tilang Atau Meras?

 saya berhenti karena terkena lampu merah Surat Pembaca: Tilang atau Meras?
Minggu 19 April 2009, saya dari Jepara melalui Semarang. Di perempatan nyaris Kota Lama, Semarang, aku berhenti alasannya adalah terkena lampu merah. Seorang polisi memerintahkan aku menepi. Saya diberitahu kesalahan saya yakni sedikit melanggar marka jalan. SIM dan STNK aku lengkap dan dibawa Polisi ke Pos. Di Pos ada seorang bapaktampaknya kena tilangyang kemudian menawarkan uang Rp 50.000,00 untuk polisi di Pos Polisi tersebut. Saya pun kena tilang dan suruh mengeluarkan uang Rp 70.000,00 untuk biaya sidang yang mau diurus polisi tersebut. Jika tidak, saya harus datang ke sidang pada tanggal 14 Mei 2009. Uang aku tidak lebih dari Rp.40.000,00. Polisi itu bilang Rp50.000,00 saja. Karena saya usang memutuskan, Polisi itu hendak pergi, tapi dia tak memberikan surat tilang. Akhirnya aku pinjam duit sobat yang saya boncengkan dan membayarnya. Polisi itu mengembalikan Rp.10.000,00.

Masalahnya, apakah Polisi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat tugasnya hanya seperti itu? Apakah melanggar batas marka jalan tidak mampu diperingatkan lebih dahulu? Apa polisi itu tidak pernah sekolah di SD-SMP-Sekolah Menengan Atas tentang PPKn? jikalau salah, diperingatkan dulu, sesudah itu baru dieksekusi. Kalau tidak bawa helm, SIM, STNK atau melanggar lampu merah kan terperinci tidak bisa diperingatkan, lha ini cuma melanggar batas jalan. Kalau duit sidang dan denda Rp 70.000,00, mengapa polisi itu mampu menurunkan harga tilang seperti negosiasi baju di Pasar Klewer? Apakah duit itu memang masuk ke kantor atau cuma masuk kantong sendiri? Inikah gambaran polisi Indonesia yang jauh dari sifat pengayom akan namun identik dengan kejam dan penilang bahkan pemeras masyarakat? Apakah sistem di Polres Semarang itu demikian? Bagaimana ini Kapolres Semarang?

gambar dari:albertjoko.files.wordpress.com/2008/03/copor8.jpg