Thursday, 7 October 2021

Bahasa Puisi

Puisi adalah salah satu karya sastra dengan bahasa yang liris. Penulisan puisi sering memakai gaya bahasa untuk memperindah atau mempertajam makna puisi tersebut.
Dulu, puisi banyak terikat dengan aturan seperti penggunaan rima dan bait. Dalam perkembangannya, kini bahasa puisi terkesan bebas dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku dalam penduduk bahasa.
Jika dipandang dengan kaidah bahasa yang berlaku, maka banyak puisi yang menyimpang dari kaidah tersebut. Hal itu dapat berbentukpenyimpangan gramatikal, baik sintaksis maupun morfologis. Penyimpangan ini mampu dikatagorikan selaku kombinasi bahasa.
Penggunaan afiks-afiks yang tak sebaiknya ialah salah sartu penyimpangan morfologis. Kata-kata dasar yang umumnya menggunakan prefiks me-N- diganti dengan be-r atau sebaliknya, seperti bersedih diganti menjadi menyedih, berteduh menjadi meneduh, berlari menjadi melari, dan lain-lain.
Di dalam puisi juga sering didapatkan padanan kata beragam yang tak biasa dipakai masyarakat bahasa, seperti lembayung langit yang berarti lagit kelabu, dinding bisu yang bermakna saksi bisu dan Langit lazuardi yang mempunyai arti langit yang biru. Hal ini mampu disebabkan oleh penggunaan gaya bahasa yang bebas oleh penyair. Bagi penyair, bahasa mampu diibaratkan cat minyak yang dapat serta merta dicoretkan pada media kanvas.
Penyimpangan sintaksis dalam puisi mampu dicontokan pada larik pertama puisi Chairil Anwar yang berjudul “Isa” yaitu itu badan. Dalam konteks pemakaian bahasa yang benar, sebaiknya tertulis badan itu. Pada dasarnya, frasa dalam kaidah pemakaian bahasa Indonesia menggunakan pola DM (Diterangkan Menerangkan). Namun pada umumnya frasa yang digunakan dalam puisi memakai teladan MD (Menrangkan Diterangkan). Selain itu di dalam puisi juga sering ditemukan pelesapan kata untuk memadatkan bahasa puisi. Adapun misalnya yakni pekat darah semestinya darah yang pekat, merah mawar semestinya mawar merah, hening cinta seharusnya cinta yang hening dan lain-lain.
Pada ranah klausa juga sering ditemukan adanya penyimpangan bahasa puisi. Pulang kembali saya padamu (P/S/O), larik puisi dalam puisi “Padamu Jua” ini menyalahi hukum sintaksis alasannya adalah predikat berada di depan subjek. Jika menngunakan kaidah bahasa yang benar maka larik puisi tersebut Aku pulang kembali padamu (S/P/O).
Penyimpangan-penyimpangan bahasa pada puisi merupakan sebuah cara untuk berkreasi dengan bahasa. Variasi bahasa sungguh luas, tinggal bagaimana penduduk menggunakannya tepat pada tempatnya. Penyimpangan bahasa pada puisi tidak mampu disalahkan sebab pada puisi berlaku prinsip licentia poetica. Prinsip inilah yang membenarkan penyimpangan bahasa puisi dengan tujuan tertentu, mirip memperlihatkan keindahan, menekankan makna, atau menarik perhatian pembaca.

dimuat Solopos, Kamis 8 Januari 2009
Andi Dwi Handoko
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UNS Solo.